Wednesday 31 January 2007

Konsultasi dengan Komsos KAJ

PARA komsosers MBK tidak pernah merasa sudah pandai dan piawai soal Komunikasi Sosial. Yah, semua komsosers adalah voluntir yang masih awam perihal komsos. Para komsosers tidak segan-segan untuk belajar dan menambah pengetahuan soal komunikasi sosial itu sendiri, lebih-lebih fungsi komsos di paroki. Karena gerak dan dinamika paroki tidak bisa lepas dengan gerak dan dinamika keuskupan, maka paroki perlu belajar juga pada Gereja yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam sepotong siang, empat komsoser bertandang ke Komsos KAJ yang berkantor di Gedung Karya Pastoral (GKP) Katedral.

Empat sekawan dari Komsos MBK-Helen, Sigit, Prasetyo, dan Heru, diterima dengan hangat Romo Yustinus Ardiyanto, Pr, selaku Ketua Komsos KAJ. Banyak masukan yang komsosers proleh dari obrolan dengan pastor yang akrab disapa dengan Romo Yus itu. Salah tiganya, antara lain pentingnya posisi Sie Komsos dalam sebuah paroki sebagai komunikator dari Gereja itu sendiri, komsos paroki bekerja seturut dengan visi dan misi yang sudah ditetapkan oleh Dewan Paroki, dan pentingnya kreativitas dalam berkomsos.

Relasi perlu dijaga terus. Konsultasi tidak harus dilakukan dengan mengunjungi katedral. Pada saat Romo Yus mengisi sebuah acara kategorial di MBK, para komsosers yang ‘bandel-bandel’ mencegat dan memaksa dengan hormat Romo Yus untuk mengunjungi ruang Komsos di aula lantai dua. Ajakan ini disambut hangat oleh Romo Yus. Obrolan santai tapi bermutu pun bergulir untuk beberapa saat. Nah, itulah wujud nyata dari kehendak para komsosers untuk memajukan diri dalam pelayanan yang tidak kecil dan tidak mudah ini. Salah satunya, dengan belajar apa saja dan dengan siapa saja.

Anjing Sahabat Komsosers

DUA anjing berbulu hitam. Keduanya, Habitus dan Nayla. Jangan salah sangka nama itu merujuk nama seseorang atau surat pastoral dari para uskup. Keduanya adalah nama anjing yang hidup di sekitar pastoran. Lah, namanya kok sedemikian keren? Sssst, yang namai anjing itu adalah ‘oknum-oknum’ komsosers yang tidak perlu disebutkan namanya. Para ‘oknum’ tadi merasa kasihan pada anjing-anjing itu karena tidak punya nama. Orang-orang pun dengan cuek memanggilnya dengan ‘cek, cek, cek”, sebuah panggilan jamak buat anjing-anjing tak bernama.

Nah, biar keren, dinamailah kedua anjing itu dengan ‘habitus’ dan Nayla. Nama habitus muncul karena waktu itu, kosakata habitus lagi booming. Di mana-mana, orang mengucapkan kata itu, pun sampai latah. Ehm, jangan salah sangka loh. Ini bukan bentuk pelcehan, tetapi justru sebuah usaha mengingatkan. Termasuk juga nama Nayla, kayak tokoh dalam lakon sinetron “Buku Harian Nayla.”

Habitus dan Nayla adalah anjing betina. Dua-duanya berbulu hitam pekat. Habitus usianya lebih tua dari Nayla. Diperkirakan Habitus adalah induknya Nayla. Habitus memunyai badan lebih kecil. Sekarang ini, ia lagi bunting dan kemungkinan besar bulan depan akan melahirkan anak-anaknya. Sementara itu, Nayla memunyai badan panjang, ramping, leher jenjang, kaki panjang, dan anggun. Di musim hujan yang dingin ini, Nayla sering kepergok ‘making love’ dengan Patrik. Patrik adalah anjing berbulu putih dengan bercak cokelat, berkaki pendek, bermoncong tebal, dan bertubuh gendut. Lagi-lagi sebuah nama yang diberikan oleh ‘oknum’ komsosers.

Nah, para komsosers sangat dekat dengan anjing-anjing itu. Setiap komsosers datang di pelataran Gereja, dengan sekali panggil, anjing-anjing itu langsung mengikuti sampai ke ruang Komsos. Mereka tidur-tiduran sambil menemani para komsosers bekerja. Komsoser yang baik hati selalu memberi mereka sepotong kue. Komsosers yang jahat sering menginjak kaki, atau melindas ekor mereka dengan kursi beroda. Pokoknya, setiap komsosers datang, pasti ada Habitus dan Nayla.

Namun, pernah beberapakali, komsosers lupa membangunkan Habitus saat mereka mau pulang. Habitus pun terkurung semalaman. Entah karena takut gelap, haus tapi gak ada air, atau mau keluar tapi pintu sudah terkunci, marahlah Habitus di ruang itu. Alhasil, komsoser yang membuka ruangan Komsos pada keesokan harinya menemukan barang-barang sudah berantakan. Dus-dus pada robek. Korden berlubang dan lepas dari gantungannya. Menyedihkan lagi, kabel-kabel rusak dan nyaris putus. Untung bukan kabel listrik (wah, bisa gawat!), tetapi kabel telepon atau jaringan. Anjing pun bisa marah.

Nah, para komsosers harap senantiasa menjaga kesadaran. Jangan tinggalkan ruangan tanpa Habitus dan Nayla. Masuk bersama-sama, keluar pun harusnya bersama-sama juga. Itu namanya setia kawan. Maksudnya, jangan ada barang-barang komsos yang rusak lagi!

Saturday 27 January 2007

Mengintip Ruang Komsos

PERNAH mengunjungi Dapur Warta Minggu? Lebih tepatnya, ruangan Komsos? Coba deh, sewaktu-waktu bertandang ke aula lantai dua dan carilah ruangan bertuliskan ruang Komsos. Pasti Anda tidak akan menemuinya. Itu dikarenakan ruangan Komsos tidak dinamai seperti ruangan lainnya. Di atas pintu masuk ruang Komsos tertulis “Ruang Penyaliban.” Di bawah tulisan itu tertulis “Tuhan dilarang Masuk”. Belum lagi jendela nako penuh tempelan gambar dan tulisan aneh bin ajaib. Di sana ada gambar Hugo Chaves-Presiden Venezuela (duh, apa hubungannya ama Komsos ya?); ada juga gambar maestro filsafat Franz Magnis Suseno; ada juga pengikut fanatik Kafe Socrates, Soeber yang sudah uzur usia. Terus, ada tulisan aneh “Tuhan Agamamu apa?” Tahu gak, tulisan itu sempat bikin gusar orang-orang yang lewat dan pernah bikin kelabakan Ketua Komsos yang kebetulan lagi ngendon di ruang Komsos dan ditanyai seorang bapak tentang maksud tulisan itu. Nah, tuh!

Nah, jangan coba-coba tanya soal tulisan “Ruang Komsos”. Yang jelas, itu adalah ulah dari komsosers yang ‘bandel-bandel.” Pokoknya, kalau Anda menjumpai ruangan yang ditempeli kertas paling meriah dengan gambar dan tulisan yang macem-macem, aneh-aneh, bikin dahi mengernyit seketika, itulah ruang Komsos. Tapi, jangan salah. Justru aneka ragam tempelan itu mencerminkan ‘kegilaan’, kreativitas, dan dinamisnya para komsosers. Apa benar? Buktikan saja sendiri.

Tak kalah beda, ruang dalam juga penuh tempelan gambar-gambar aneh selain gambar-gambar suci dan salib yang menempel di dekat jam dinding. Di sana, teronggok meja besar yang biasa digunakan untuk rapat perencanaan Warta Minggu. Meja itu dikeliling bangku-bangku kecil dan tiga bangku panjang seperti bangku ruang tunggu rumah sakit. Ada lagi satu whiteboard, tiga unit komputer yang terhubung dengan internet. Internet komsos menggunakan koneksi dari StarOne. StarOne dipilih karena murah, juga karena kecepatan aksesnya masih mencukupi. Tambahan, pesawatnya bisa dibawa kemana-mana. Tidak ketinggalan juga printer laserjet.

Dekat pintu, berdiri dengan kaku dan dingin sebuah lemari kabinet yang digunakan untuk menyimpang berkas-berkas penting. Di depannya, ada dua lemari komputer ukuran besar. Di atasnya, ada rak-rak yang diperuntukkan untuk menyimpan buku-buku seputar Gereja dan juga arsip-arsip Warta Minggu dari zaman baheula (zaman masih stensilan). Yah, karena belum memunyai rak bagus untuk perpustakaan Komsos, buku-buku pun ditata serapi mungkin berjajar di dekat jendela. Menggunakan bibir jendela yang tersisa dengan topangan karton bekas dus aqua.

Di pojok, berdiri malu sebuah dispenser. Galon aqua tertancap di atasnya. Inilah ‘mata air’ pelepas dahaga bagi para komsosers yang lembur mengerjakan WM. Sayang, dispensernya tidak distel panas dingin atau sebenarnya sudah rusak? Ah, gak masalah. Dahaga itu obatnya minum. Tidak tergantung yang dingin atau panas. Tapi, kalau mau panas, di atas bangku panjang, tergolek termos elektrik yang bisa memanasi air durasi 10 menitan. Dari benda molek berwarna cokelat ini, komsosers bisa menyeduh kopi panas. Yah, apa pun minumannya,yang penting hieginis. Eh, tapi jangan salah. Gara-gara minum dari air minum itu, dua komsosers sakit perut dan terkulai tak berdaya di ranjang masing-masing. Dua hari, dua malam, dua-duanya. Selidik demi selidik, ternyata minuman itu mengandung air kencing tikus. Bukan di galonnya, tetapi di gelas-gelasnya. Nah, para komsoser harus lebih hati-hati neh dan senantiasa menjaga kebersihan. Ternyata, tikus-tikus pun ingin bergabung di tim, iri pada dua anjing hitam yang suka mangkal dan nemani para komsosers. Keduanya punya nama bagus, yakni Habitus dan Nayla. Habitus lagi bunting dan Nayla lagi senang kawin dengan Patrik, anjing jantan bulu coklat, kaki pendek, dan badan kekar. Dasar anjing, pinter juga milih musim kawin, dingin bo! Ujan bo! Banjir bo!

Di atas meja besar (utama), tergeletak atau tersebar (kalau lagi tidak rapi): kaleng roti berisi aneka ragam kopi dan gula-gula, perkakas alat tulis dari spidol permanen (sering salah untuk whiteboard) sampai staples. Wah, pokoknya lengkap layaknya sebuah kantor.

Tembok-tembok tidak lagi warna putih. Tapi, coreng moreng oleh tempelan kertas, tulisan, gambar, dan coretan pulas. Dasar anak-anak kelebihan energi. Kampus dan kantor pun tidak mencukupi untuk menumpahkan hasrat kreatifnya. Tapi, justru itu nambah asyik suasana. Di tembok yang menghadap aula, ada kaca-kaca tembus pandang. Nah, lewat kaca inilah para komsoser bisa melihat ke bawah acara-acara di aula. Lewat kaca ini pula, mata genit para komsosers bisa mengintip ibu-ibu yang lagi senam airobik setiap pagi dengan baju ketat membungkus tubuh mereka yang berlekuk. Duh, bikin kerjaan jadi tersendat.

Bila melihat ke langit-langit ruangan, bukan bintang-bintang berkelip yang Anda temui (lah, emang langit beneran?!). Tapi, Anda akan melihat burung-burung kertas terbang diayun-ayungkan oleh angin dari Air Conditioner (AC) atau oleh angin aula yang meyelinap lewat kisi-kisi jendela. Ck, ck, ck, sungguh kreatif si pembuatnya. Bisa jadi, masa kecil terlalu bahagia, sehingga tidak mau meninggalkan kebiasaan masa kecilnya itu. Jangan lupa, perhatikan apa yang tergantung di tengah ruangan. Di tengah berari pusat dan poros. Sebuah kaleng Pocari Sweat tergantung manis dan terbungkus kertas warna kuning-orange, bertulisakan habitus baru (warna kuning) dan habitus lama (warna orange). Nah, itulah yang menjadi poros ruang Komsos itu.

Selebihnya, ruangan Komsos dipenuhi dengan debu-debu udara yang hinggap sembarangan, cicak-cicak yang bersembunyi di balik jam dinding, semut-semut yang suka berbaris mencuri patahan gula-gula, kecoak, tikus-tikus, dan sebagainya.

Masih ingin mengunjungi Ruang Komsos? Santai saja, ruang ini terbuka bagi siapa saja dengan keperluan apa pun. Semua orang bebas datang dan pergi. Cuma satu kok: “Tuhan dilarang masuk!” Hmmm….

Friday 26 January 2007

Pesan Paus di Hari Komunikasi Sedunia

Children and the Media: a Challenge for Education

Dear Brothers and Sisters,

1. The theme of the Forty-first World Communications Day, "Children and the Media: A Challenge for Education", invites us to reflect on two related topics of immense importance. The formation of children is one. The other, perhaps less obvious but no less important, is the formation of the media.

The complex challenges facing education today are often linked to the pervasive influence of the media in our world. As an aspect of the phenomenon of globalization, and facilitated by the rapid development of technology, the media profoundly shape the cultural environment (cf. Pope John Paul II, Apostolic Letter The Rapid Development, 3). Indeed, some claim that the formative influence of the media rivals that of the school, the Church, and maybe even the home. "Reality, for many, is what the media recognize as real" (Pontifical Council for Social Communications, Aetatis novae, 4).

2. The relationship of children, media, and education can be considered from two perspectives: the formation of children by the media; and the formation of children to respond appropriately to the media. A kind of reciprocity emerges which points to the responsibilities of the media as an industry and to the need for active and critical participation of readers, viewers and listeners. Within this framework, training in the proper use of the media is essential for the cultural, moral and spiritual development of children.

How is this common good to be protected and promoted? Educating children to be discriminating in their use of the media is a responsibility of parents, Church, and school. The role of parents is of primary importance. They have a right and duty to ensure the prudent use of the media by training the conscience of their children to express sound and objective judgments which will then guide them in choosing or rejecting programs available (cf. Pope John Paul II, Apostolic Exhortation Familiaris consortio, 76). In doing so, parents should have the encouragement and assistance of schools and parishes in ensuring that this difficult, though satisfying, aspect of parenting is supported by the wider community.

Media education should be positive. Children exposed to what is aesthetically and morally excellent are helped to develop appreciation, prudence and the skills of discernment. Here it is important to recognize the fundamental value of parents’ example and the benefits of introducing young people to children's classics in literature, to the fine arts and to uplifting music. While popular literature will always have its place in culture, the temptation to sensationalize should not be passively accepted in places of learning. Beauty, a kind of mirror of the divine, inspires and vivifies young hearts and minds, while ugliness and coarseness have a depressing impact on attitudes and behavior.

Like education in general, media education requires formation in the exercise of freedom. This is a demanding task. So often freedom is presented as a relentless search for pleasure or new experiences. Yet this is a condemnation not a liberation! True freedom could never condemn the individual -- especially a child -- to an insatiable quest for novelty. In the light of truth, authentic freedom is experienced as a definitive response to God’s ‘yes’ to humanity, calling us to choose, not indiscriminately but deliberately, all that is good, true and beautiful. Parents, then, as the guardians of that freedom, while gradually giving their children greater freedom, introduce them to the profound joy of life (cf. Address to the Fifth World Meeting of Families, Valencia, 8 July 2006).

3. This heartfelt wish of parents and teachers to educate children in the ways of beauty, truth and goodness can be supported by the media industry only to the extent that it promotes fundamental human dignity, the true value of marriage and family life, and the positive achievements and goals of humanity. Thus, the need for the media to be committed to effective formation and ethical standards is viewed with particular interest and even urgency not only by parents and teachers but by all who have a sense of civic responsibility. While affirming the belief that many people involved in social communications want to do what is right (cf. Pontifical Council for Social Communications, Ethics in communications,

4), we must also recognize that those who work in this field confront "special psychological pressures and ethical dilemmas" (Aetatis novae, 19) which at times see commercial competitiveness compelling communicators to lower standards. Any trend to produce programs and products -- including animated films and video games -- which in the name of entertainment exalt violence and portray anti-social behavior or the trivialization of human sexuality is a perversion, all the more repulsive when these programs are directed at children and adolescents. How could one explain this ‘entertainment’ to the countless innocent young people who actually suffer violence, exploitation and abuse? In this regard, all would do well to reflect on the contrast between Christ who "put his arms around [the children] laid his hands on them and gave them his blessing" (Mk 10:16) and the one who "leads astray … these little ones" for whom "it would be better … if a millstone were hung round his neck" (Lk 17:2). Again I appeal to the leaders of the media industry to educate and encourage producers to safeguard the common good, to uphold the truth, to protect individual human dignity and promote respect for the needs of the family. 4. The Church herself, in the light of the message of salvation entrusted to her, is also a teacher of humanity and welcomes the opportunity to offer assistance to parents, educators, communicators, and young people. Her own parish and school programs should be in the forefront of media education today. Above all, the Church desires to share a vision of human dignity that is central to all worthy human communication. "Seeing with the eyes of Christ, I can give to others much more than their outward necessities; I can give them the look of love which they crave" (Deus caritas est, 18).

From the Vatican, 24 January 2007, the Feast of Saint Francis de Sales.
BENEDICTUS PP. XVI

Surat dari Ketua Komsos

Awal Perjalanan Komsos Tomang Periode 2006-2009

1. Saudara-saudari Komsosers Tomang yang berbahagia. Berbahagia bukan hanya merujuk bibir kita yang cengar-cengir, bola mata yang menari-nari atau kaki yang melompat-lompat. Berbahagia adalah ungkapan syukur atas apapun yang boleh kita alami. Dan itulah yang seharusnya kita lakukan sebagai umat Allah yang beriman kepada-Nya. Bersyukur. Dalam bacaan Kitab Suci minggu ini, kita mendengar kisah tentang dua orang janda miskin yang memberikan bantuan. Yang satu kepada Nabi Elia, dan yang lain kepada Yesus, meskipun ia serba berkekurangan. Bahkan dalam kekurangan seseorang pun, Tuhan masih menganugerahi sesuatu kepada kita untuk dibagikan kepada sesama... Anda semua, Komsosers, adalah orang-orang yang berdaya. Itu, harus disyukuri.

2. Tidak mudah menjadi seorang komunikator yang sejati. Sebagai murid-murid Kristus, kita patut meneladani Kristus sendiri sebagai seorang komunikator. Mari kita semakin sering lagi membuka Kitab Suci dan membaca kembali perjalanan Yesus tersebut. Dianggap Putera Allah atau tidak, dicintai atau dibenci, disukai karena tutur katanya yang lembut atau dianggap kurang ajar dan tidak tahu unggah-ungguh (sopan santun, etiket), Yesus secara terus-menerus dan konsisten mengkomunikasikan diri-Nya dan Bapa-Nya. Yesus bisa lembut, bisa marah. Tapi Ia tak pernah berhenti berbicara, tak pernah menyudahi komunikasi. Saya bertanya-tanya, apa Yesus pernah minta maaf juga, ya? Kok saya nggak nemu, ya? (Husss... Surat Gembala kok malah nanya, bukannya ngasih arahan, hehehe...)

Inilah yang harus kita teladani dari Yesus. Kita tidak boleh berhenti berkomunikasi, seberat apapun konsekuensi yang harus kita tanggung akibat upaya komunikasi tersebut. Dengan berat hati saya mengakui bahwa Yesus telah disalibkan, dan tentu saja saya sangat tidak menginginkan hal serupa terjadi pada Anda semua. Saya sendiri pernah menyampaikan bahwa, "Biarlah yang terberat terjadi atas diri saya." Tapi toh saya tidak dapat mencegah hal-hal berat juga terjadi kepada Anda, terutama kalau selama ini hidup Anda baik-baik saja, sehingga Tuhan melihat ada baiknya Anda mengalami sedikit masalah dalam hidup supaya Anda bisa belajar. (Husss... Surat Gembala kok malah menghakimi, hehehe...)

3. Dalam perjalanan Komsos Tomang akhir-akhir ini, pada awal Periode Kepengurusan 2006-2009, sudah terjadi upaya-upaya yang kurang sistematis dan kurang taktis untuk membungkam suara Komsos Tomang. Saya menyadari, bahwa sebagai Ketua Seksi Komsos Tomang 2006-2009, saya tidak luput dari segala kekurangan dan kesalahan. Saya masih muda, radikal, sedikit fundamentalis mungkin, belum banyak pengalaman, belum punya kebijaksanaan, nggak punya unggah-ungguh dan banyak kelemahan lainnya. Karena itulah saudara-saudaraku Komsosers, saya tidak pernah sekali pun merasa, bahwa saya ditunjuk menjadi Kasi Komsos Tomang sebab saya adalah yang terbaik di antara Anda semua.

Kembali pada upaya pembungkaman suara Komsos Tomang tadi, saya juga menyadari bahwa saya belum sepenuhnya bisa mejadi Kasi Komsos yang baik. Banyak pikiran, ucapan dan tindakan saya yang belum merupakan pikiran, ucapan dan tindakan seorang Kasi Komsos. Sebagian besar bisa jadi merupakan sesuatu yang pribadi sekali. Karena itulah, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Anda semua karena belum mampu menjadi Kasi Komsos yang baik dan layak untuk Anda. Saya juga memohon kerelaan yang sebesar-besarnya dari Anda semua untuk membiarkan saya belajar dan memperbaiki diri. Di sisi lain, tentu saja, jika pada suatu waktu nanti Anda semua merasa saya memang tidak layak memimpin Komsos Tomang sementara ada orang lain yang lebih layak, saya mengajurkan Anda membuat petisi bersama kepada Dewan Paroki Harian Tomang supaya saya bisa diganti. Horeeee!!! (Husss... Surat Gembala kok provokatif dan sorak-sorak, hehehe...)

Upaya yang kurang sistematis dan kurang taktis untuk membungkam suara saya (atau suara Komsos Tomang jika selama ini saya sudah dianggap menyuarakan Komsos Tomang), terjadi pada Sabtu, 11 November 2006 di Aula Paroki Tomang. Saya diajak bicara oleh seseorang dan menurut orang tersebut, apa yang selama ini saya pikirkan, ucapkan dan tindakkan, sudah dinilai destruktif. Karena itulah, Bapak tersebut mengharapkan kebijaksanaan saya untuk diam.
Pada saat itu, tentu saja saya tidak diam. Saya justru mengajurkan adanya ruang-ruang untuk bicara, jika segala substansi suara saya dianggap tidak pada tempatnya. Ya mari kita cari tempatnya. Kita memang kekurangan ruang formal atau informal untuk bicara. Saya berkata demikian, karena apapun yang saya lakukan, saya yakin adalah dalam koridor memperbaiki dan bukan menghancurkan. Kalaupun masih dianggap menghancurkan, saya akan memaknainya begini: ibarat anak kecil main lego, kalau susunan lego itu nggak sesuai petunjuk gambar, ya harus dibongkar, toh? Tapi ya habis itu disusun lagi...

Saya tidak tahu perkembangan apa yang terjadi setelah pembicaraan empat mata itu. Yang jelas, saya menegaskan bahwa saya tidak diperintah, dipaksa atau diancam. Saya hanya diminta untuk bijaksana dan diam. Ini jelas perbedaan besar dan substansial, sehingga saya meminta agar para Komsosers untuk tidak misleading. Jangan juga memandang kasus ini sebagai peluang bagi saya untuk menjadi martir, hahaha... (Husss... Gembala kok GR...)

4. Mencermati berbagai fenomena komunikasi yang terjadi akhir-akhir ini di Paroki Tomang, kita layak untuk prihatin dan memberikan kontribusi terbaik. Kita prihatin karena menyadari bahwa banyak saudara-saudara kita di paroki belum menyadari arti penting komunikasi serta cara berkomunikasi yang baik. Kita prihatin karena aktivitas komunikasi dinodai oleh arogansi kekuasaan dan campur tangan bermacam kepentingan. Karena itulah, saya bermaksud menyadarkan para Komsosers bahwa tugas kita menjadi komunikator di dalam paroki sungguh berat dan tidak main-main.

Menyikapi hal tersebut, saya menganjurkan para Komsosers untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, terus belajar untuk menambah pengetahuan serta mengasah kearifan dalam memandang hidup. Sebagian aktivitas akan diakomodasi oleh Komsos Tomang, antara lain dengan cara mengadakan training/pelatihan internal. Sebagian lainnya adalah proses belajar kita sebagai pribadi-pribadi yang memandang komunikasi sebagai panggilan serta bagian dari penyelenggaraan Ilahi terhadap kita. Allah telah memanggil dan memilih kita, sebagaimana dinyatakan oleh Yesus sendiri: bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu." (Yoh 15:16)

5. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Anda semua, Komsosers, yang telah dengan rela, cinta dan setia mengabdikan diri kepada panggilan untuk berkomunikasi di dalam paroki. Masih panjang jalan yang harus kita tempuh bersama, masih banyak pula yang akan kita alami bersama. Dalam kerelaan, cinta dan kesetiaan itu kita akan melangkah. Segala tantangan dan hambatan, hendaknya semakin membawa kembali kita, dan mendekatkan kita kepada Allah. Gereja adalah karunia Allah. Sejarah Gereja menyimpan banyak kearifan yang bisa menjadi inspirasi karya pelayanan kita. Segala sesuatu memang hendaknya bersumber kepada Allah, sehingga patutlah kita memaknai kutipan ini: percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. (Amsal 3:5)

Dari Ketua Komsos Anda,
Helena D. Justicia
Ketua Seksi Komsos Tomang – Gereja MBK

Thursday 25 January 2007

Spirit Komunikasi Sosial

Gereja adalah Komunikasi[1]

1).KABAR GEMBIRA YESUS KRISTUS merupakan INTI KOMUNIKASI KRISTEN. Mendengarkannya dan menghayatinya serta menjadi saksinya merupakan panggilan asasi dari semua orang Kristen serta gereja-gereja mereka. Kita dapat mengatakan bahwa orang-orang Kristen adalah mereka yang BERKOMUNIKASI dengan Tuhan dan dengan orang lain dengan cara yang sama seperti Yesus Kristus berkomunikasi dengan mereka (Enam Asas Penuntun Komunikasi Kristen)

2).Apabila, karena salahnya sendiri, manusia menjauhkan diri dari Penciptanya, maka kekacauan timbul....Allah sendirilah yang pertama-tama bergerak untuk mengadakan KONTAK dengan umat manusia pada awal mua sejarah penyelamatan. Dan tatkala tiba saatnya, ia mengomunikasikan dirinya sendiri kepada manusia dan “Sabda menjadi daging.”

3).Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan untuk membawa keselamatan kepada semua manusia. Karena itu ia didesak dengan sangat untuk menginjil, dan menganggap bagian dari tugasnya, untuk mewartakan berita keselamatan juga melalui alat-alat komunikasi sosial dan untuk mengajar manusia mengenai penggunaannya yang tepat. (Pendahuluan no.3 dari Inter Mirifica)


4).Selain berada di dunia Kristus menyatakan diriNya sebagai KOMUNIKATOR SEMPURNA, yang melalui “penjelmaanNya”, Ia nyata-nyata mempersamakan dirinya dengan mereka yang akan menerima komunikasinya dan Ia pun memberikan pesannya bukan hanya dengan kata-kata melainkan dengan seluruh cara hidupnya. (Communio et Progressio, 11)

5).PERSATUAN dan KEMAJUAN manusia yang hidup di dalam masyarakat: Inilah TUJUAN UTAMA KOMUNIKASI SOSIAL dan semua alat yang dipergunakannya...(CP, 1)...ATAU...Dalam Iman Kristen, PERSATUAN DAN PERSAUDARAAN manusia merupakan TUJUAN-TUJUAN UTAMA SEMUA KOMUNIKASI dan ini pun bersumber dan bercontoh pada misteri pusat persatuan yang kekal antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus yang bersama-sama menghayati kehidupan ilahi yang tungal (CP, 8)

6).Komunikasi Sosial cenderung untuk MENPERGANDA KONTAK-KONTAK DI DALAM MASYARAKAT dan untuk MEMPERDALAM KESADARAN SOSIAL (CP, 8)

7).Komunikasi Sosial mendukung DIALOG DI DALAM GEREJA (Gereja suatu badan yang hidup...sikap memberi dan menerima di antara anggotanya. Tanpa hal itu, Gereja tidak bisa maju dalam pikiran dan tindakannya, CP, 115)

8).Komunikasi Sosial mendukung DIALOG GEREJA dan DUNIA (CP, 122-125)


Mengapa KOMUNIKASI SOSIAL?


1.Manusia modern tidak dapat berkerja tanpa informasi yang lengkap, konsisten, cermat, dan benar. Tanpa informasi, ia tidak dapat memahami dunia, tempat ia hidup, yang terus berubah atau juga tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan situasi nyata. (CP, 34)

2.Hak atas informasi itu bukan hanya merupakan suatu hak prerogatif individu, melainkan juga suatu hak yang hakiki bagi kepentingan umum. (CP,34)

3.Kebebasan berkomunikasi ini juga menuntut agar individu-individu dan kelompok-kelompok harus bebas untuk mencari dan menyebarluaskan informasi (CP, 47)

4.Oleh karena manusia itu kodratnya bersifat sosial, maka ia pun merasa perlu untuk mengungkapkan dirinya secara leluasa dan membandingkan pandangan-pandangannya dengan pandangan-pandangan orang lain.

5.Komunikasi Sosial mendukung pendidikan, kebudayaan (CP, 48-53)

6.Merenggut seseorang dari komunikasi atau dari sarana-sarana komunikasi, merupakan suatu pelanggaran besar terhadap perkembangan manusia. (WACC, Enam Asas Komunikasi Kristen)

7.DEMOKRATISASI KOMUNIKASI timbul dari kenyataan adanya tanggung jawab bersama dalam perutusan Gereja. Hal itu secara efektif menjamin adanya kaum awam secara penuh dan dewasa dalam kerasulan Gereja, yang mencakup bertumbuhnya pendapat umum. (Kaum Awam & Kerasulan Media, hlm. 28)

8.Komunikasi Sosial BERPERAN PEMBELAAN. (Gereja menjalankan pelayanan media pastoralnya guna memenuhi PANGGILAN KENABIANNYA untuk membebaskan manusia. Di mana orang tidak dapat mengemukakan pendapatnya secara bebas, Gereja harus lebih menjadi SUARA ORANG-ORANG yang dirampas haknya, meskipun disertai bahaya yang diakibatkanya (Puebla, 1094)

Pelaku Komunikasi

1.Para komunikator harus menyampaikan berita-berita yang cepat, lengkap, dan dapat dimengerti (CP, 38)

2.Dalam bentuknya yang beraneka ragam, pelayanan komunikasi adalah tanggung jawab khusus kaum awam....Tantangan komunikasi yang tidak kecil bagi Gereja-gereja Asia adalah soal MEMPERCAYAI KAUM AWAM DALAM MEDIA... (Kaum Awam dan Kerasulan Media, hlm.16)

3.Perlu adanya PELATIHAN dalam penggunaan alat-alat komunikasi (bdk. CP Bab II poin 64-72)
4. Para PENERIMA memerlukan beberapa LATIHAN DASAR apabila mereka hendak memanfaatkan sepenuh-penuhnya apa yang dapat diberikan oleh alat-alat komunikasi sosial itu.(CP, 65)
5.Sungguh tidak pernah terlalu pagi untuk memulai menanamkan dalam diri ANAK-ANAK selera SENI, BAKAT KRITIS yang halus dan rasa TANGGUNG JAWAB pribadi yang berdasar pada moralitas yang sehat. (CP, 67)
6.Sungguh bermanfaat bagi para pendidik untuk mencatat beberapa siaran, film, dan penerbitan-penerbitan yang paling menarik bagi KAUM MUDA...Kemudian dapatlah mereka MENDISKUSIKANNYA bersama-sama dan ini membantu mengembangkan KEMAMPUAN-KEMAMPUAN KRITIS anak-anak. (CP, 68)
KEWAJIBAN aktif umat Katolik di dalam berbagai bidang alat-alat komunikasi sosial. Misalnya: PERS KATOLIK, FILM, RADIO DAN TELEVISI, TEATER. (CP, 135-161)
Perlunya PENDIDIKAN MEDIA (Kaum Awam dan Kerasulan Media, hlm.18-22)

Piranti Komunikasi

1.Melalui media modern, Gereja memperoleh kemungkinan-kemungkinan pewartaan Injil yang lebih besar daripada di zaman-zaman sebelumnya.

2.Saluran-saluran komunikasi sosial, sekali pun dialamatkan kepada individu-individu, mencapai dan memengaruhi seluruh masyarakat. (CP, 6)

3.Alat-alat ini sebenarnya diperuntukkan membangun hubungan-hubungan baru dan membentuk suatu bahasa yang memungkinkan manusia mengenal dirinya lebih baik dan mengerti satu sama lain dengan mudah.

4.Untuk dapat bertahan dan berkembang, alat-alat komunikasi sosial menuntut adanya backing keuangan yang dapat diandalkan.

5. PERS KATOLIK, FILM, RADIO DAN TELEVISI, TEATER (CP, 135-161)

Pembiayaan Komunikasi

1.Jika kita bersungguh-sungguh dalam hal pastoral media, kita mesti secara nyata bersedia untuk membiayainya. Soal itu tidak dapat diandalkan pada faktor kebetulan saja. (Kaum Awam & Kerasulan Media, hlm. 33)

2.Komunikasi TIDAK BOLEH dibiarkan berlangsung terus sambil BERGANTUNG SEMATA-MATA PADA SEDIKIT UANG yang dapat disisihkan Gereja, sesudah semua keperluan lainnya dipenuhi. Sebaliknya, KOMUNIKASI HARUS MEMEROLEH TEMPAT YANG TINGGI dalam prioritas-prioritas kita, pada saat kita mempersiapkan anggaran keuangan. (Kaum Awam & Kerasulan Media, hlm. 33)

3.Sesuai dengan ASAS TANGGUNG JAWAB BERSAMA dalam misi Gereja, maka seluruh masyarakat Kristen bertugas untuk menunjang KERASULAN MEDIA. (bdk. CP, 133)

4.Harus ditambahkan, bahwa meskipun seringkali dikira bahwa membiayai pelayanan komunikasi Gereja akan memakan biaya yang besar (bdk.Publa, 1093), tidak selamanya harus demikian. Sesungguhnya, adalah salah satu keuntungan komunikasi alternatif, bahwa konsep itu justru mengandung suatu penolakan terhadap perlunya media uniform, yang dipusatkan, mahal dan disertai profesionalisme tinggi.


Hari Komunikasi Sedunia

1.Penetapan Hari Komunikasi Sedunia diusulkan oleh Konsili Vatikan II sebagai suatu langkah praktis menuju pelaksanaan berbagai kemungkinan yang terkanding di dalam media. (Kaum Awam & Kerasulan Media, hlm. 34)

2.Hari Komunikasi Sosial Sedunia merupakan suatu kesempatan tiap tahun untuk merenungkan seberapa baik kita mempergunakan sarana-sarana komunikasi yang banyak tersedia itu, dalam menjalankan perutusan Gereja. (Kaum Awam & Kerasulan Media, hlm. 34)

3.Untuk memungkinkan perencanaan perayaan itu secara memadai, Vatikan sekarang menyajikan tema Hari Komunikasi Sedunia sekurang-kurangnya satu atau dua tahun lebih dahulu. (Kaum Awam & Kerasulan Media, hlm. 34)

4.Setiap orang yang dipercaya kepada Tuhan diundang untuk mempergunakan hari khusus setiap tahunnya untuk berdoa dan memikirkan masa depan serta persoalan-persoalan media (CP, 10)

[1] Judul ini diambil dari subbab dalam Buku “Kaum Awam dan Kerasulan Media”, Komisi KOMSOS KWI: 1987, hlm.7

Warta Minggu


SEIRING dengan kemajuan zaman dan perkembangan telekomunikasi, Warta Minggu (WM) tak ketinggalan. Sejak tahun 1999, komunikasi internal WM dilakukan lewat email atau surat elektronik. Padahal embrio WM hanyalah sekadar stensilan sederhana yang dikerjakan oleh sekretaris paroki, almarhum Ben Samsudi. Isinya pun hanya laporan keuangan Panitia Pembangunan Gereja.

Pada tahun 1977, diadakan dialog dengan Rm. Hutten O.Carm. Hasilnya, stensilan itu resmi dinamai “Warta Minggu”. Isinya bukan lagi laporan PPG, tetapi juga informasi-informasi lain.

Setahun kemudian, format WM kembali diperbaiki. Bentuknya adalah selembar kertas HVS yang dilipat dua. Waktu itu, umat merasa kotbah mingguan pastor kurang mengena, sehingga dimuatlah renungan dari kaum awam di WM. Pekerja WM pun bertambah, yakni (alm) Santoso yang membuat gambar-gambar dan iklan, Gunawan yang membantu pengetikan, dan Shienta D Aswin yang memperkaya isi WM dengan berbagai ide. [Sumber: WM, edisi Paskah 2000]


Apakah Warta Minggu itu?
Warta Minggu adalah media komunikasi Paroki Tomang yang terbit mingguan. Warta Minggu dicetak sebanyak 4.000 eksemplar dan bisa diperoleh umat secara gratis setiap usai mengikuti misa.

Apa saja isi Warta Minggu?
Dengan membaca Warta Minggu, kita bisa mengetahui berbagai informasi mengenai jadwal dan aneka kegiatan umat Paroki Tomang. Selain itu, Warta Minggu juga menyuguhkan beragam artikel, seperti renungan mingguan, artikel seputar orang muda, anak-anak, keluarga, lansia, Kitab Suci, konsultasi iman, komunitas, ajaran sosial Gereja, kisah orang kudus, dan sebagainya.

Siapa saja yang boleh menulis di Warta Minggu?
Seluruh umat Paroki Tomang

Mengapa umat perlu mengirimkan tulisan ke Warta Minggu?
Memanfaatkan Warta Minggu sebagai sarana publikasi kegiatan atau penyampai ide/gagasan/sambung rasa kita, berarti melakukan komunikasi dengan orang lain di dalam satu paroki. Dengan menjalin komunikasi yang baik, kita akan dapat saling mengetahui, mengerti, dan memahami serta menerima sebagai saudara. Harapannya, kita mampu menjadi satu komunitas yang tangguh.

Bagaimana cara membuat tulisan untuk Warta Minggu?
Jika Anda menulis berita/liputan kegiatan, pastikan ada unsur-unsur berikut: 5 W (what, who, when, where, why) + 1 H (how). Bila hendak menuliskan artikel, sedapat mungkin ada refleksi iman di dalam tulisan itu. Agar lebih menarik, lampirkan juga foto kegiatan.

Bagaimana cara mengirimkan tulisan ke Warta Minggu?
Anda dapat mengirimkan tulisan melalui email wm_mbk@yahoo.com atau meletakkannya (diharap berupa softcopy) di Kotak Komsos/Warta Minggu di Sekretariat Paroki Tomang. Tentu saja, dengan disertai identitas pengirim yang jelas (nama, nomor telepon yang bisa dihubungi/alamat email) dan keterangan domisili (lingkungan/wilayah). Batas waktu pengiriman adalah hari Selasa pagi setiap minggunya.

Apakah tulisan itu pasti dimuat?
Warta Minggu adalah media komunitas paroki. Sedapat mungkin, semua artikel tentang kegiatan paroki akan dimuat. Jika terdapat beberapa pertimbangan sehingga artikel itu tidak dapat dipublikasikan, tim redaksi akan mengkomunikasikannya dengan pengirim tulisan.

Mengapa Warta Minggu menerima iklan? Untuk apa uangnya?
Produksi media komunikasi membutuhkan biaya. Demikian juga Warta Minggu. Dana yang diserap dari iklan digunakan untuk membiayai operasional penerbitan Warta Minggu. Sebagian untuk membiayai operasional kegiatan Komsos Tomang.


SUSUNAN REDAKSI WARTA MINGGU
Moderator : Rm. Eko Adilanto, O.Carm
Pemimpin Redaksi : GN. Aswin
Sekretaris Redaksi : Anton Sardjo
Redaktur Pelaksana: PN. Prasetyo Hartono
Staf Redaksi : Sigit Kurniawan, T. Samaria, Paul Heru, Lanovia, Wenny, Robby
Kontributor : Erni, Michael S, Judith, Airin, Katrin, Bernardi, Shienta, John, Andri (foto)
Iklan : Anton Sardjo, Ellen K
Kontak Redaksi : Tlp/Fax. (021) 5301672; email: wm_mbk@yahoo.com
Pengiriman Artikel
Pengiriman artikel harap disertai dengan identitas lengkap (nama terang, lingkungan). Artikel akan diolah melalui proses pengeditan.
Pemasangan Iklan
Warta Minggu menerima pemasangan iklan umum maupun keluarga. Tarif iklan keluarga: 1/4 halaman Rp125 ribu; 1/2 halaman Rp250 ribu. Tarif iklan umum: 1/4 halaman Rp150 ribu; 1/2 halaman Rp300 ribu.
Informasi Lebih Lanjut:
Hubungi Sekretaris Redaksi Warta Minggu:
Anton Sardjo
di pesawat 0812 999 1382

KAFE SOCRATES dengan CITA RASA BARU


Apa itu Kafe Socrates?
Kafe Socrates adalah ruang diskusi kritis atas berbagai fenomena sosial dan menggereja garapan Sie Komunikasi Sosial Paroki MBK. Secara resmi Kafe Socrates membuka warung filsafatnya pada November 2003.

Mengapa Socrates?
Nama Socrates diambil dari nama bapa filsafat Yunani klasik, Socrates (470-399 SM). Menurut catatan muridnya, Plato (Socrates tidak meninggalkan tulisan), Socrates gemar mengajak setiap orang yang ia temui untuk berdialog. Socrates mengajak orang untuk mengkritisi berbagai hal yang biasa, rutin, umum, dan sebagainya. Metodenya adalah metode bidan. Seperti seorang bidan yang membantu orang mengeluarkan bayinya, demikian juga Socrates membantu orang untuk mampu mengeluarkan ide-ide, opini, refleksi, dan pikirannya. Nah, metode dan gaya Socrates dalam berdiskusi ini yang diharapkan menjadi aroma Kafe Socrates ini.

Mengapa Kafe?
Nama kafe ditujukan pada situasi diskusi yang santai, informal, orang bebas datang dan pergi, orang bebas berbicara, bebas menarik kesimpulan sendiri, bebas diikuti siapa saja, dan sebagainya.

Apa tujuan Kafe Socrates?
1. Menjadi RUANG ALTERNATIF di komunitas MBK (sebelum diperluas jangkauannya) untuk

mengajak siapa saja berpikir kritis dan reflektif atas berbagai hal menyangkut hidup

menggereja dan sosial.
2. Menawarkan kedalaman di tengah kedangkalan cara pikir dan cara hidup.
3. Mengundang orang untuk mengalami fajar budi (aufklarung). Dengan fajar budi orang

mampu keluar dari sikap TIDAK DEWASA akibat kesalahan sendiri. Kesalahan itu terletak

dalam keengganannya dan ketidakmampuan manusia untuk berpikir sendiri. Orang

cenderung berpaut pada otoritas lain di luar dirinya (agama, nabi, dogma, pastor, ideologi,

dsb). [bdk. Immanuel Kant].
4. Menawarkan cara pandang lain pada hidup menggereja dan sosial

Apa semboyan Kafe Socrates?
“Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani” [Socrates]

Apa Dasar Biblis Kafe Socrates?
Lukas 9: 20: “Menurut KAMU, siapakah Aku ini?” . Pertanyaan Yesus ini sangatlah bergaya Socrates karena selalu menekankan pentingnya berpikir sendiri (bukan menurut pendapat orang lain). Orang yang mampu berpikir sendiri adalah menjadi salah satu ciri orang yang mampu bertanggungjawab.

Siapa pengunjung Kafe Socrates?
Siapa saja yang mau meluangkan sedikit waktunya untuk berpikir.

Mengapa Cita Rasa Baru?
Label ini menandai penekanan pada metode baru berdiskusi dalam Kafe Socrates. Kata ‘baru’ sebenarnya mengacu pada maksud awal Kafe Socrates ini dibentuk. Kata ‘baru’ di sini sebagai evaluasi kritis atas proses diskusi Kafe Socrates selama ini. Selama ini, partisipan diskusi masih tampak kurang berani untuk mengungkapkan pikirannya, lebih menggantungkan apa saja yang dipikirkan oleh narasumber diskusi. Nah, cita rasa baru mau menekankan bahwa semua partisipan diskusi adalah narasumber dan sejajar. Untuk itu, Kafe Socrates sangat menggantungkan pada kecakapan dari FASILITATOR diskusi. Narasumber tetap akan dihadirkan, tetapi akan diperlakukan sama dengan seluruh partisipan. Dalam hal ini peran Socrates ada pada diri fasilitator.

Apa saja yang pernah didiskusikan?
Secara acak, tema-tema yang pernah didiskusikan adalah:

1. "Berpikir Kritis dalam Gereja, mungkinkah?" bersama GN Aswin
2. "Teologi Pembebasan" (Film Romero) bersama Ig. Haryanto
3. "Perempuan dalam Gereja" (Bedah buku “Kodrat yang Bergerak”) bersama Iswanti
4. "Kekerasan Dalam Rumah Tangga" bersama Maria Hartiningsih (Kompas)
5. "Gereja dalam Modernitas" bersama Greg. Soetomo SJ
6. "Orang Muda dan Gereja" bersama Indra Nurpatria
7. "Hukuman Mati" bersama Wijaya
8. "Pendidikan Pembebasan Paulo Freire" bersama Robert Budiantara
9. "Sisi Lain Tragedi 65" (Film The Shadow Play) bersama Lexy Rambadeta
10. "Orang Muda Merintis Habitus Baru" bersama Felix Iwan Wijayanto
11. "Dekapan Arus Konsumerisme" (Film Supersize Me) bersama Hendar Putranto
12. "Munir" (Film Garuda’s Deadly Upgrade) bersama Rusdi Marpaung
13. "Penjajah-penjajah Baru" (Film The New Rulers of the Word) bersama Santo
14. "Vatikan Bohong Besar?" (Bedah buku Da Vinci Code) bersama JN. Hariyanto SJ
15. "Buku Putih Sang Pengkhianat" (Bedah buku Injil Judas) bersama JN. Hariyanto SJ

16. "Mencintai Lingkungan" (Film Burning Seasons)

17. "Siapakah Perempuan MBK?" bersama para perempuan aktivis paroki

Apa Program-program Lain Kafe Socrates?
1. Menerbitkan Buku Seri Kafe Socrates yang sudah diagendakan sejak kelahirannya. Karena ada 15 tema yang sudah didiskusikan, ada dua buku seri yang bisa diterbitkan pada periode satu tahun ini. Semua materi ada di Sigit.
2. Pekan Film Alternatif (Jumat-Minggu). Tema: Film-film yang ‘dilarang’ Gereja. Rekomendasi Film: Priest, The Name of the Rose, Torn Birds, The Last Temptation etc. Pekan film akan ditutup dengan diskusi ilmiah. Pelatihan fasilitator diskusi. Pemikiran dasar: Kunci keberhasilan Kafe Socrates terletak pada peran fasilitator sebagai Socrates itu sendiri. Ada pedoman yang bisa digunakan: “Starting a Socrates Cafe” oleh Christopher Philips, presiden internasional Socrates Cafe.

Ada yang Lain?
Kafe Socrates MBK sudah didaftarkan di klub Socrates Cafe International yang dikomandoi oleh Christopher Philips.


“Tujuan belajar filsafat bukanlah mengetahui apa yang dahulu pernah dipikirkan manusia mengenai banyak perkara, melainkan bagaimana kebenaran perkara-perkara itu digeluti” [Thomas Aquinas, De caelo et mundo]

Organisasi

Pengurus Seksi Komunikasi Sosial
Paroki Tomang-Gereja MBK
Periode 2006-2009

Ketua
Helena D .Justicia
Bendahara
Monica Katrin
Sekretaris
Lanovia
Ka Subseksi Warta Minggu
Gregory N. Aswin
Ka Subseksi Situs Paroki
Robert Purnomobagyo
Konsultan Program
Robert Budiantara, Shienta D. Aswin, Anik Wusari
Direktur Program
Sigit Kurniawan
Koordinator Program
Kafe Socrates: Sigit Kurniawan
Penulis Muda MBK (Pena): Thoma Adi Nugraha
Litbang: Paul Heru Wibowo
Penerbitan Buku: Paul Heru Wibowo
Audio-Visual: Ferdinand Cahyo
Komsos to Komsos: Helena D. Justicia




INFORMASI LEBIH LANJUT:

Warta Minggu (Media Cetak) [selengkapnya]
Situs Paroki MBK (Media Online) [selengkapnya]
Program:
- Kafe Socrates [selengkapnya]
- Penulis Muda (Pena MBK)
- Pelatihan fasilitator
- Kursus Ajaran Sosial Gereja

Visi dan Misi

Visi Paroki Tomang

Umat paroki sebagai Gereja yang tangguh di mana semua unsurnya berperan dalam mewujudkan Komunitas Basis terutama di lingkungan-lingkungan.

Misi Paroki Tomang

1. Mengupayakan terwujudnya suatu Komunitas Basis Gerejani terutama di lingkungan-lingkungan melalui pewartaan Kabar baik dalam bentuk ibadat, persekutuan, pewartaan dan aneka layanan yang bermutu.

2. Mengupayakan terwujudnya Komunitas Basis insani terutama di lingkungan-lingkungan yang berbaur dengan masyarakat sekitar dalam bentuk persaudaraan sejati yang terbuka berdasarkan kasih.

Kru KOMSOS

Rm. Eko Aldilanto O.Carm
Beginning with Mary's unique cooperation with the working of the Holy Spirit, the Churches developed their prayer to the holy Mother of God, centering it on the Person of Christ manifested in His mysteries. In countless hymns and antiphons expressing this prayer, two movements usually alternate with one another: the first "magnifies" the Lord for the "great things" He did for His lowly servant and through her for all human beings. The second entrusts the supplications and praises of the children of God to the Mother of Jesus, because she now knows the humanity which, in her, the Son of God espoused."




Helena Fransiska Dewi Justicia
Lahir di Malang pada 3 Februari 1972. Tinggal di Jln. Saari no. 28 Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat (11550), berarti termasuk Lingkungan Thomas Aquino, Wilayah XII. Menjadi Ketua Seksi Komsos Paroki Tomang Periode 2006-2009. Berlatar belakang pendidikan sastra dan psikologi sosial. Bekerja sebagai penulis lepas dan dosen. Memiliki kebiasaan membaca, menulis, korespondensi, menggambar, menyanyi dan bermain musik. Motto hidupnya: Hidup adalah proses yang panjang. Berproseslah, maka kau akan hidup!




Fransiskus Xaverius Sigit Kurniawan
Lelaki yang suka dijuluki 'orang gila' ini suka mengeluarkan ide-ide gila, basi, dan bikin perut mules. Lahir di Bantul, 9 November 1976. Ia pernah menjadi Ketua Komsos pada periode 2003-2006. Ia sekarang menjadi koordinator Kafe Socrates, forum diskusi bulanan. ia adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dengan mengambil jurusan Filsafat Sosial. Selain aktif di Komsos MBK, ia aktif di Komisi Kepemudaan KAJ (K3AJ) sebagai Sekretaris Divisi Litbang. Sehari-hari, ia bekerja sebagai Jurnalis di Tabloid Investigasi. Hobinya unik, yakni menyetubuhi malam dengan secangkir nutrisari hangat beraroma jeruk nipis dan menjentikkan jemarinya di laptop, menulis!


Philipus Neri Prasetyo Hartono
‘Satria Berkumis” ini lahir di Ngawi, 15 Februari 1965. Kuliah di IKIP Jakarta tahun 1985 jurusan Bahasa Jerman. Melanjutkan belajar Matematika di STKIP PGRI Pasar Minggu. Sehari-hari bekerja sebagai koordinator kurikulum di LPK CTC Joglo. Selain sebagai Redaktur Pelaksana Warta Minggu, lelaki yang akrab disapa Mas Pras ini menjabat sebagai Ketua Lingkungan Antonius 6. Bergabung di Komsos pada tahun 2002. Ia memunyai seorang idola, Bill Gates. Di tengah kesibukan, ia masih mau mencintai kesehatannya. Selain dengan tidur, juga dengan bulu tangkis setiap Senin malam di Gedung Bulu Tangkis Asean, Batu Sari.




Paul Heru Wibowo
Lahir di Bogor, 3 September 1974. Menyelesaikan kuliah S-1 di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sempat mampir di Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma. Sejak kuliah sudah berkarya sebagai guru di sekolah menengah. Menulis menjadi profesi dan sekaligus hobi yang digumulinya setiap hari. Minat studinya di berbagai kajian seperti cultural studies, teologi, filsafat sosial, linguistik, dan sastra postkolonialisme. Sekarang mengajar bahasa Indonesia di Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, Sunter dan menjadi associate writer di Penerbit LP3ES, Jakarta. Bergabung dengan seksi Komsos MBK Tomang sejak 2006. Sekarang menjadi umat di Lingkungan Antonius 4.




Antoinette Lanovia Ingryanti Ardenny
Gadis cantik, cerdas, dan lincah omong ini dilahirkan pada 24 November 1981. Ia doyan melahap buku-buku berbau sastra, termasuk novel karangan anak negeri sampai novel-novel dari para peraih nobel sastra. Di Komsos, ia aktif sebagai reporter, penulis artikel orang muda, dan juru bicara Komsos. Sehari-hari, ia bekerja sebagai Marketing Coordinator Centra di Sevilla School. Moto hidupnya begitu mulia: Ora et Labora, berdoa dan bekerja.




Fransiskus Valentinus Bernardi Widjaja
Cowok putih tambun ini lahir di Pontianak, 10 Desember 1980. Sekarang ia tinggal di Paroki Sunter, tepatnya di Sunter Agung Podomoro,Jakarta Utara. Meski jauh dari MBK, ia masih aktif untuk mengirim renungan via internet. Sejak umur 15 tahun, ia sudah aktif menjadi putra altar di Keuskupan Agung Pontianak. Berlatar belakang pendidikan Magister Management di Universitas Bina Nusantara. Sehari-hari ia bekerja di tiga tempat, yakni sebagai asisten business development manager di PT Star, finance departement di PT. Flowers, dan PR di PT Wahana. Hobinya adalah menulis, membaca, musik, pecinta keheningan, dan tenggelam dalam kontemplasi. Moto hidupnya: In Omnibus Caritas, segalanya dalam kasih. Ben, jangan lama-lama kontemplasinya, ntar kesambet setan!



Antonius Sardjo
Lahir di Yogyakarta, 12 April 1954. Inilah sosok yang paling familiar di kalangan MBK.Pasalnya, dia sudah 20 tahun turut mengelola Warta Minggu. Lagi pula, dialah yang sekarang menjadi salah satu tim pencari iklan selain ikut membantu dalam tata letak WM dan menjadi sekretaris redaksi. Kerjaannya yang bejibun sering membuat dia kelimpungan. Anak-anak WM suka meledeknya sebagai "Raja Stress." Sekarang, ia tingal bersama istri dan dua anaknya di Tanjung Duren Selatan II/4/22, Jakarta 11470 (lingkungan Christophorus 2). Sehari-hari, ia bekerja di PT. Gramedia bagian Pra Cetak. Hobinya selain stres, juga jalan-jalan.



Sunday 21 January 2007

Nota Pastoral 2006


HABITUS BARU: EKONOMI YANG BERKEADILANKeadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi


I. PENGANTAR
1. Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2006 berjudul HABITUS BARU: EKONOMI YANG BERKEADILAN - Keadilan Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi. Nota Pastoral ini disusun sebagai kelanjutan Nota Pastoral 2003 yang berjudul Keadilan Sosial bagi Semua dan Nota Pastoral 2004 yang berjudul Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya.


2. Iman mendorong kami, para Waligereja Indonesia, untuk ikut aktif mengupayakan tata ekonomi yang adil dan yang sangat menentukan terwujudnya masyarakat yang manusiawi dan bermartabat. Menyadari bahwa kami bukan ahli ekonomi, masukan dari para narasumber ahli sangat kami perhatikan.


3. Melalui Nota Pastoral ini kami bermaksud menyampaikan hasil pembelajaran selama hari-hari refleksi Sidang KWI 2006. Kami berharap agar segenap umat Katolik Indonesia menjadikan Nota Pastoral 2006 ini sebagai bahan penting proses pembelajaran dan penghayatan iman dalam dimensi sosial-ekonomi. Selanjutnya, atas dasar proses pembelajaran itu diharapkan kelompok-kelompok umat basis dalam kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik melangkah bersama menjadi pelopor dan penggerak berbagai usaha ekonomi berkeadilan yang menyejahterakan lingkungan sekitarnya.


4. Istilah ‘ekonomi’, yang berasal dari bahasa Yunani oikos dan nomos, pada hakikatnya berarti ‘tata pengelolaan rumahtangga’. Tata-kelola itu diperlukan agar kesejahteraan setiap rumahtangga tercapai. Sebagai tata-kelola, istilah ‘ekonomi’ menunjuk pada proses atau usaha pengadaan barang dan jasa untuk kebutuhan hidup. Karena sumberdaya selalu terbatas, padahal kebutuhan hidup sangat banyak, istilah ‘ekonomi’ menyangkut seni-memilih secara bijak antara banyaknya kebutuhan di satu pihak dan terbatasnya sumberdaya atau sarana di lain pihak. Tujuan ‘ekonomi’ adalah kesejahteraan bersama. Dalam perkembangannya, tatkala lingkup ‘rumahtangga’ diperluas menjadi ‘negara-bangsa’, ekonomi kemudian juga berarti seni-mengelola sumberdaya yang dimiliki negara-bangsa untuk tujuan kesejahteraan bersama.


5. Indonesia adalah “rumahtangga” kita. Kita sebagai bangsa menghuni wilayah yang sangat luas, dengan keadaan geografis yang strategis dan kekayaan alam yang berlimpah-ruah. Tetapi sangat ironis, negeri kita yang kaya-raya akan sumberdaya alam ini masih memiliki banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan. Ironi itu tidak hanya menunjukkan bahwa kesejahteraan bersama masih jauh dari kenyataan, tetapi juga bahwa ‘ekonomi’ sebagai seni-mengelola kesejahteraan bersama masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masalah ini menjadi tantangan besar bagi kita. Nota Pastoral 2006 ini mengajak seluruh umat untuk mencermati gejala kesenjangan itu dalam rangka mencari jalan bagaimana kegiatan ekonomi dapat membantu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia.


6. Sebagaimana yang ditempuh dalam perumusan dua Nota Pastoral sebelumnya, dan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005, langkah-langkah yang melahirkan Nota Pastoral ini berlangsung melalui pola refleksi Lingkaran Pastoral. Pertama, melihat kondisi Indonesia. Dari kondisi Indonesia itu dirumuskan secara khusus ‘Masalah Sosio-Ekonomi’. Kedua, ‘Masalah Sosio-Ekonomi’ itu kemudian dipahami serta diartikan dalam terang iman, dan dari situ kami menentukan ‘Tanggapan Pastoral’. Ketiga, ‘Tanggapan Pastoral’ tersebut dicermati kembali guna menentukan arah ‘Gerakan Sosio-Ekonomi’. Keempat, berdasarkan arah ‘Gerakan Sosio-Ekonomi’ itu lalu ditentukan rancangan gerakan yang hendak diupayakan untuk memperbaiki keadaan hidup bersama di Indonesia melalui usaha sosio-ekonomi.


II. WAJAH MASALAH SOSIO-EKONOMI DI INDONESIA
7. Bagi kami, kutipan pembuka Doa Syukur Agung Gereja berikut ini secara sangat tepat melukiskan keadaan bumi Indonesia tempat kita hidup bersama dan mengabdi. “... Engkau memperkenankan kami hidup di bumi Indonesia, di tengah pulau-pulau dan lautan biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kayaraya akan sumber-sumber alam ... untuk mengolah sawah dan ladang, mengelola alam tanpa merusak lingkungan, memanfaatkan lautan yang kaya, membangun kota dan desa, serta menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur, aman dan sentosa ...” 1 Kutipan itu juga menuntun kita bagaimana mencapai hari depan yanglebih adil dan makmur, aman dan sentosa. Bumi Indonesia adalah sebuah “benua maritim”, yang menyediakan dan menawarkan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan serta dikelola secara bijaksana sebagai sumber nafkah, protein, dan energi. Selain sumberdaya kelautan, daratan Indonesia juga menyediakan kekayaan alam lain yang melimpah. Penduduk yang berjumlah lebih dari 220 juta orang, dengan latar-belakang budaya yang beragam, dapat membentuk daya besar untuk mengembangkan negeri ini menjadi taman yang menghadirkan kesejahteraan bersama.


8. Meskipun kita hidup di tengah kelimpahan sumberdaya alam, sampai hari ini kita menyaksikan kondisi kehidupan ekonomi begitu banyak warganegara yang masih sangat memprihatinkan. Kemiskinan adalah kenyataan hidup begitu banyak warga. Sampai bulan Februari 2005, misalnya, sebanyak 35,10 juta sesama warganegara (15,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia) menderita kemiskinan. Jumlah itu meningkat menjadi 39,05 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. 2 Namun jumlah itu terdiri dari kaum miskin yang hidup dengan biaya di bawah sekitar Rp 14.000,- per hari/per orang. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya hidup di bawah sekitar Rp 18.000,- per hari/per orang, jumlah orang miskin di Indonesia membengkak menjadi 108,78 juta, atau sekitar 49 persen dari penduduk Indonesia. 3 Upaya yang ditempuh melalui kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan belum menunjukkan kemajuan. Dari waktu ke waktu diumumkan kepada kita kebutuhan mendesak akan investasi. Namun pernyataan itu lebih memberikan perhatian pada investasi berskala besar, sedangkan usaha-usaha ekonomi skala kecil dan mikro yang menyangkut hidup bagian terbesar warga biasa justru kurang diperhatikan. Perhatian kepada para investor berskala besar memang perlu. Akan tetapi, di tengah lautan kemiskinan di Indonesia, kebijakan ekonomi seperti itu mudah membawa risiko lebih besar. Yang terjadi bukan pengentasan warga biasa dari kemiskinan, melainkan ketergantungan semakin besar pada sumberdaya yang bukan bagian dari kehidupan ekonomi rakyat biasa. Dalam corak globalisasi ekonomi yang berlangsung dewasa ini, arah kebijakan seperti itu dengan mudah dapat membuat cita-cita kesejahteraan bersama justru semakin terlepas dari potensi ekonomi warga biasa.


9. Sumberdaya produktif rakyat kebanyakan yang berupa lahan basah, lahan kering dan hutan juga mengalami penciutan dari tahun ke tahun. Sebagian sumberdaya ekonomi rakyat itu begitu mudah berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan besar dan sentra-sentra komersial di tangan perusahaan-perusahaan berskala besar yang lebih memupuk budaya konsumeris. Keadaan rakyat miskin dan lemah yang sudah rentan semakin diperparah oleh musibah demi musibah berupa bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan, yang kebanyakan disebabkan oleh ulah manusia sendiri. 4 Akibatnya sangat mengerikan, karena hal itu merusak lingkungan hidup dan sumber nafkah rakyat kebanyakan.


10. Selain itu, di tengah kemunduran sektor ekonomi yang secara langsung terkait dengan kebutuhan riil masyarakat luas, kegiatan-kegiatan spekulasi keuangan yang samasekali tidak punya kaitan apapun dengan kinerja sektor ekonomi riil justru kian marak. Dalam suasana itu masalah pengangguran semakin memprihatinkan. Dari tahun ke tahun daya serap usaha-usaha berskala besar atas tenaga kerja – yang dianggap sebagai resep untuk mengatasi masalah pengangguran – terus mengalami penurunan, dengan akibat jumlah penganggur malah meningkat. Meningkatnya angka pengangguran juga terkait erat dengan rendahnya tingkat pendidikan. Keadaan menjadi semakin parah, karena bukan hanya jumlah kaum miskin bertambah, tetapi juga akibat-akibat buruk lainnya meningkat, seperti putus sekolah, kejahatan, gizi buruk dan busung lapar.


11. Dampak kemiskinan tidak hanya ditanggung sesaat, tetapi terbawa jauh ke masa depan. Dampak itu ditanggung oleh kelompok-kelompok yang paling lemah, terutama anak-anak dan perempuan. Perempuan yang kurang gizi dan bergizi buruk akan melahirkan bayi yang tidak sehat pula. Di tahun 2005, jumlah bayi yang lahir dengan kondisi berat badan rendah karena kurang gizi, misalnya, mencapai 350.000, sedangkan bayi di bawah lima tahun (balita) yang menderita busung lapar sebanyak 1,67 juta. 5 Jumlah balita penderita busung lapar itu meningkat menjadi 2,3 juta pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama jumlah kematian ibu yang melahirkan adalah 307 per 100.000 kelahiran. Itu berarti, di Indonesia dalam setiap 1 jam terdapat 2 ibu meninggal ketika sedang bersalin. Angka itu tiga kali lebih tinggi dari angka kematian ibu di Vietnam, dan enam kali lebih tinggi dari angka kematian ibu di Malaysia dan Cina. 6


12. Wajah kemiskinan yang begitu telanjang itu hadir berdampingan dengan penumpukan kekayaan sekelompok orang yang memamerkannya tanpa kepedulian. Sementara sebagian besar rakyat masih serba berkekurangan dalam mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari, sekelompok orang, termasuk di daerah tertinggal, hidup dalam suasana kelimpahan dan kemewahan. Kesenjangan itu merupakan potret nyata sebuah bangsa yang telah kehilangan kepedulian pada cita-cita kesejahteraan bersama.


13. Dalam keadaan itu, tidak sedikit pihak dari kalangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif malah mengingkari mandat yang diterimanya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Sikap seperti itu bertolak-belakang dengan yang ditunjukkan oleh Eduard Douwes Dekker (1820-1887), seorang pegawai pemerintah kolonial yang berani menyuarakan sikapnya dengan menulis kisah penderitaan para buruh-tanpa upah yang diperas. 7Keberaniannya mengungkapkan penderitaan para buruh itu antara lain telah menggerakkan suatu perubahan dalam politik kolonial. Kondisi kemiskinan di Indonesia hanya dapat diubah apabila kita bersama-sama mempunyai kepedulian dan mengusahakannya.


III. ANALISIS SOSIO-EKONOMI
Beberapa Sebab Pokok Masalah
14. Potret buram kondisi sosial-ekonomi yang ditandai oleh kesenjangan sangat tajam itu tentu disebabkan oleh banyak faktor. Dalam keterkaitan satu sama lain, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:


a. Komersialisasi yang semakin meluas. Untuk mendapatkan barang dan jasa kebutuhan hidup, manusia menciptakan cara efektif pertukaran atau perdagangan, yang kemudian memunculkan ‘mekanisme pasar’. Mekanisme pasar diterapkan dalam pengadaan berbagai barang dan jasa, tetapi tidak semua. Banyak kebutuhan dasar yang menyangkut kelangsungan hidup bersama, seperti kesehatan dan pendidikan, tetap dijaga sebagai milik bersama. Yang menggelisahkan adalah bahwa dewasa ini tengah berlangsung kecenderungan kuat untuk menerapkan mekanisme pasar itu ke semua bidang kehidupan. Kami sadar bahwa banyak faktor pro dan contra terlibat dalam kecenderungan ini. Namun kami juga sadar, penerapan prinsip pasar ke semua bidang kehidupan cenderung menyingkirkan begitu banyak orang. Dalam mekanisme pasar, berlaku prinsip berikut ini: hak seseorang atas barang/jasa kebutuhan hidup ditentukan oleh daya-beli. Karena itu, semakin seseorang mempunyai uang, semakin ia dianggap lebih “berhak” atas barang/jasa tersebut. Sebaliknya, semakin seseorang tidak mempunyai uang, semakin ia dianggap “tidak berhak” bahkan atas kebutuhan hidup yang paling mendasar, seperti makanan dan kesehatan. Mekanisme pasar mempunyai kekuatan dalam bidangnya sendiri. Namun kekuatan mekanisme pasar itu dengan mudah justru hilang ketika diterapkan secara membabi-buta ke semua bidang kehidupan. Akibatnya, mekanisme pasar tak lagi membantu pencapaian kesejahteraan bersama, dan bahkan memperkecil kemungkinan terjadinya kesejahteraan bersama. Atau, seandainya pun terjadi, kesejahteraan hanyalah hasil “tetesan ke bawah” dari segelintir orang yang kaya dan memiliki daya-beli tinggi. Pada akhirnya ‘ekonomi’ tidak lagi terkait dengan cita-cita kesejahteraan bersama, dan kelompok-kelompok miskin serta lemah menjadi kaum yang paling berat menanggung dampak negatifnya.


b. Masalah Kebijakan Publik. Kami sadar bahwa kecenderungan di atas merupakan gejala luas pada skala global. Dalam kecenderungan itu, dinamika tata hidup bersama semakin tidak lagi mengejar kesejahteraan bersama sebagai cita-cita utama. Adalah tugas pemerintah untuk menjaga dan memastikan bahwa kesejahteraan bersama tetap menjadi tujuan utama hidup berbangsa yang diupayakan dengan sadar dan sengaja. ‘Kebijakan publik’ adalah perangkat utama pemerintah untuk mengejar tujuan itu. Tanpa pemenuhan tugas itu, setiap pemerintah demokratis mengingkari hakikatnya. Terjadinya potret buram kondisi sosio-ekonomi seperti di atas bukannya tidak terkait dengan corak kebijakan publik yang menggejala di Indonesia dewasa ini, terutama karena proses komersialisasi juga telah melanda pembuatan dan pelaksanaan berbagai kebijakan publik. Akibatnya, mereka yang memiliki daya-beli tinggi dapat lebih menentukan arah kebijakan publik, sedangkan mereka yang miskin tidak mempunyai suara apapun atas arah kebijakan publik. Dengan itu kebijakan publik lalu kehilangan makna sesungguhnya. Yang menggelisahkan kita adalah semakin kuatnya kecenderungan kolusi antara mereka yang memiliki sumberdaya ekonomi besar dan pembuat kebijakan publik. Kaum miskinlah yang menanggung dampaknya, dengan akibat kesejahteraan bersama semakin jauh dari kenyataan.


c. Ciri Mendua Globalisasi. Kondisi sosio-ekonomi yang disebut di atas berlangsung dalam periode sejarah yang sering disebut ‘era globalisasi’. Globalisasi memunculkan harapan baru, tetapi sekaligus melahirkan hambatan baru bagi pencapaian kesejahteraan bersama; menghadirkan banyak kemudahan, tetapi juga menimbulkan berbagai kesulitan. Terutama kami melihat bahwa akses pada kemudahan-kemudahan yang muncul dalam proses globalisasi untuk sebagian besar ditentukan oleh tingkat daya-beli. Akibatnya, dengan mudah kaum miskin menjadi kelompok yang paling rentan, sebab kaum miskin adalah mereka yang mempunyai daya-beli rendah. Selain itu, gejala seperti kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) kaum buruh yang kian luas juga sangat terkait dengan kebebasan keluar-masuk para investor yang semakin tidak terbatas. Kita perlu ramah kepada para investor. Namun kebijakan ekonomi yang terutama bertumpu pada aliran modal para investor asing mengandung risiko besar, yaitu hidup-matinya kebanyakan warga biasa semakin tergantung pada kemauan pihak lain, dan bukan pada potensi ekonomi kebanyakan warga biasa sendiri.


d. Kesenjangan Budaya. Kita mengalami kesenjangan budaya apabila menghayati suatu kebiasaan hidup dan pola berpikir serta bertindak yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kesenjangan itu tampak terutama dalam orientasi waktu dan orientasi dalam relasi dengan orang lain. Berkaitan dengan orientasi waktu, misalnya, ada kebiasaan hidup dan pola berpikir yang terarah pada kepentingan jangka pendek, dan ada yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Yang dibutuhkan untuk menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan adalah pola hidup yang terarah pada kepentingan jangka panjang dan demi kesejahteraan bersama. Sikap-sikap seperti terungkap dalam kebiasaan menghamburkan sumberdaya ekonomi untuk keperluan pesta mewah, judi, minum sampai mabuk, korupsi waktu, uang dan jabatan, serta kemalasan dalam berusaha dan lain sebagainya adalah gejala-gejala kesenjangan budaya yang sangat memprihatinkan.


Masalah dalam Cara Berpikir Ekonomi
15. Keempat persoalan di atas mengisyaratkan bahwa meluasnya gejala kemiskinan di Indonesia terkait erat dengan proses yang membuat kaum miskin terjebak dalam jerat pemiskinan. Jerat pemiskinan itu dilanggengkan oleh sejenis cara berpikir dan cara memandang tertentu yang dominan dalam kegiatan ekonomi dewasa ini. Dalam cara berpikir ini, kesejahteraan bersama semakin tidak lagi menjadi penuntun kegiatan ekonomi. Atau, kesejahteraan bersama semakin tidak lagi dilihat sebagai tujuan yang dikejar secara sadar dan disengaja, tetapi hanya dianggap sebagai hasil sampingan dari pengejaran kepentingan diri masing-masing orang. Cara berpikir seperti itu cenderung menyingkirkan kaum miskin, karena kesejahteraan mereka lalu juga diperlakukan hanya sebagai hasil sampingan dan belas-kasihan segelintir orang yang berlimpah sumberdaya. Dengan itu ekonomi juga kehilangan artinya sebagai seni mengelola kesejahteraan bersama.


16. Kami sadar bahwa kegiatan ekonomi terutama digerakkan oleh prinsip transaksi yang berlangsung dalam pertukaran atau perdagangan antara pihak-pihak yang sedang memenuhi kebutuhan diri. Dinamika ekonomi itu berjalan karena digerakkan oleh pertimbangan kepentingan diri. Setiap orang harus mencukupi kebutuhan diri. Akan tetapi, cara berpikir dan cara bertindak ekonomi yang meniadakan solidaritas dan kepedulian pada mereka yang lemah juga kehilangan artinya sebagai seni mengelola rumahtangga negara-bangsa. Cara berpikir dan cara bertindak ekonomi yang menyingkirkan pertimbangan kesejahteraan bersama seperti itu hanya menjadi alat yang dipakai oleh mereka yang kuat untuk menguasai yang lemah. Oleh karena itu, kami memandang perlunya kita kembali ke asas ‘kesejahteraan bersama’ (bonum publicum) sebagai penuntun utama cara berpikir dan cara bertindak ekonomi. Dalam tatanegara, pemerintah adalah badan publik yang harus menjaga serta memastikan bahwa ‘kesejahteraan bersama’ dikejar secara sengaja melalui berbagai kebijakan publik. Namun, supaya kewajiban pemerintah itu tidak memunculkan kecenderungan otoritarianisme, secara serentak para pemilik modal, pelaku kegiatan ekonomi lain dan komunitas-komunitas warga juga harus mengejarnya.


17. Kesejahteraan bersama merupakan salah satu asas terpenting dalam cara berpikir dan cara bertindak Gereja. Gereja berkehendak setia dan mengusahakan pelaksanaan asas itu secara sadar dan sengaja, karena Gereja yakin bahwa kesejahteraan bersama tidak dapat diserahkan kepada proses otomatis kinerja mekanisme pasar. 8 Proses otomatis itu tidak pernah terjadi. Dalam usaha itu, Gereja memandang bahwa kehidupan ekonomi yang tergantung pada kehendak para pengusaha berskala besar dan inisiatif pemerintah bukanlah arah yang bijaksana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Komunitas-komunitas warga, khususnya kelompok miskin, perlu bangkit untuk mengusahakan kesejahteraan mereka sendiri. Dukungan dari para pelaku usaha berskala besar dan dari pemerintah tentu diperlukan. Akan tetapi, dengan atau tanpa dukungan itu, kaum miskin dan lemah harus bangkit memberdayakan diri. Untuk itu Gereja menganggap dua arah gerakan berikut ini sebagai penuntun langkah ke depan: Pertama, usaha pemberdayaan potensi dan energi kaum miskin dan lemah dengan melibatkan kaum cerdik-cendekia untuk mencari tata-kelola kehidupan ekonomi yang benar-benar mewujudkan kesejahteraan bersama. Kedua, desakan kritis kepada pemerintah dan para pelaku ekonomi berskala besar untuk terlibat lebih aktif dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, dengan perhatian khusus kepada mereka yang miskin dan lemah, tanpa membuat kaum miskin dan lemah itu justru semakin tergantung.


18. Perlu ditegaskan bahwa arah gerakan kita didorong oleh sikap keprihatinan serta cinta-kasih, dan bukan oleh kebencian. Kita perlu menjalin kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik dan yang menunjukkan komitmen pada kesejahteraan bersama. Sikap kritis apapun yang kita ajukan lebih merupakan undangan ke arah keterlibatan sejati dalam memajukan kesejahteraan bersama. Sikap kritis terhadap mekanisme pasar, misalnya, bukanlah penolakan terhadap kekuatan kinerja pasar dalam kegiatan ekonomi, tetapi merupakan upaya koreksi atas kinerja mekanisme pasar yang cenderung menyingkirkan mereka yang miskin dan berdaya-beli rendah. Begitu pula sikap kritis kita terhadap kinerja usaha-usaha berskala besar merupakan undangan agar kinerja ekonomi berskala besar itu lebih terkait secara langsung dengan jerih-payah kaum miskin.


19. Selain sikap kritis itu, upaya aktif kita harus diarahkan terutama pada pemberdayaan potensi dan energi sosio-ekonomi kaum miskin dan lemah itu sendiri. Usaha-usaha ekonomi kecil dan mikro yang berbasis kerakyatan, seperti keuangan mikro dan usaha koperasi yang sudah mulai dikembangkan di berbagai daerah, perlu diperluas dan didukung sepenuhnya. Usaha seperti keuangan mikro dan koperasi kredit ini perlu ditempuh terutama untuk membantu kaum miskin keluar dari jerat ketergantungan pada usaha-usaha berskala besar, baik dalam hal pengadaan modal maupun pemenuhan kebutuhan barang dan jasa. Tentu saja dalam rangka gerakan ini juga dibutuhkan gerakan lain untuk mendesak agar berbagai kebijakan publik di bidang ekonomi semakin menempatkan kaum miskin dan lemah sebagai pelaku utama kehidupan ekonomi di negerinya sendiri.


20. Kita semua berkehendak untuk terlibat melakukan perubahan atas proses yang telah menyebabkan gejala ketimpangan ekonomi. Dalam upaya itu, asas kesejahteraan bersama perlu digunakan sebagai pendekatan. Artinya, asas ‘kesejahteraan bersama’ dipakai sebagai prinsip menyusun agenda, memantau pelaksanaan, dan sebagai tolokukur untuk menilai sejauh mana agenda disebut ‘sukses’ atau ‘gagal’. Penggunaan secara terus-menerus asas ‘kesejahteraan bersama’ sebagai prinsip penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi ini diharapkan berkembang menjadi cara berpikir dan cara bertindak baru – ringkasnya, sebagai habitus baru. Kesejahteraan bersama membutuhkan habitus baru itu. Kami berharap, agar seluruh warga masyarakat pada akhirnya menyadari bahwa tata ekonomi yang baik berisi kegiatan ekonomi yang “tertanam dalam-dalam” di dalam arus kehidupan bersama dan cita-cita kesejahteraan bersama.


IV. MELIHAT REALITAS DALAM TERANG IMAN
Kembali ke kisah awal
21. Pola berekonomi yang mengakibatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan ketidakseimbangan dalam tata alam menunjukkan bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Kisah penciptaan menuturkan bahwa Roh Allah melayang-layang di atas bumi dan memberi bentuk bagi bumi yang masih kacau, kosong, dan tidak teratur. 9 Dengan demikian, dunia bukanlah sebuah suasana ketakteraturan. Kitab Suci mengingatkan kita akan kondisi awal yang dikehendaki Pencipta, yakni menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan. 10 Keseimbangan ini perlu dijaga dan dirawat oleh manusia. Sebagaimana manusia pertama ditempatkan dalam taman di Eden, kita pun dianugerahi rahmat untuk hidup bersama di tanah-air kita yang kaya dan indah, agar kita “mengusahakan dan merawat taman” ini. 11 Dengan itu kita dapat mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Kita juga diberi tanggungjawab serta kesanggupan untuk memperlakukan manusia sesuai martabatnya, dan merawat serta menjaga seluruh alam dalam keseimbangan. Berekonomi secara adil merupakan wujud partisipasi kita dalam karya penciptaan Allah dan panggilan hidup manusia untuk hidup layak “dalam kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah”. 12


22. Namun, rumahtangga ciptaan itu terganggu karena manusia menyalahgunakan kebebasannya. Rumahtangga bangsa kita pun terancam hancur karena ketidakseimbangan ekonomi, sosial dan alam. Sebagai orang beriman, kita mengatakan secara jujur bahwa semua itu terjadi karena dosa. Manusia melihat sesamanya sebagai ancaman yang harus ditaklukkan. Dia merasa hanya dapat hidup dan maju dengan menghancurkan alam dan memangsa orang lain, secara khusus orang-orang miskin, kaum perempuan dan anak-anak. 13 Akibatnya, yang kaya memiliki banyak jaminan untuk membentengi hidupnya, tetapi yang miskin hidup tanpa perlindungan apapun. 14


Solidaritas Allah memulihkan solidaritas kita
23. Dunia yang telah diciptakan dalam keteraturan tergoncang oleh pola berekonomi yang tidak adil. Martabat luhur manusia yang diciptakan sesuai citra Allah direndahkan oleh keserakahan untuk menumpuk keuntungan diri sebanyak mungkin. Alam lingkungan yang tersedia untuk semua dirusak demi keuntungan sekelompok kecil orang, walaupun akibat kerusakan itu mesti ditanggung oleh semua orang. Ke dalam kondisi dunia yang diwarnai oleh ketimpangan ini, Putera Allah datang untuk tetap menyatakan kasih-Nya kepada manusia. Dengan menjadi manusia, Allah hendak membebaskan manusia dari keterpenjaraan egoisme-nya. Allah juga bermaksud memulihkan kepercayaan manusia kepada diri-Nya dan akan sesamanya. Dalam Roh Allah yang menaungi-Nya, Yesus berbicara tentang pembebasan bagi “orang-orang tawanan” dan “penglihatan bagi orang-orang buta”. 15 Allah datang ke dunia, menjadi daging dan “diam di antara kita”, 16 agar yang kaya dan berkuasa tidak menjadi tawanan dari sikap cinta-diri yang sempit dan buta terhadap kepentingan orang lain dan ciptaan. Pembebasan itu juga berlaku bagi yang miskin agar tidak tenggelam di dalam ketidakberdayaan dan buta terhadap peluang-peluang untuk membangun hidup.


24. Yesus tidak menolak kekayaan dan usaha memperbanyak kekayaan. Dia memuji hamba yang menggandakan talentanya dan mengecam hamba yang malas. 17 Allah turut dimuliakan, apabila kita mengembangkan kekayaan alam dan bakat kita demi kesejahteraan bersama. Namun Dia mengingatkan adanya bahaya kerakusan akan harta dan uang yang menghancurkan relasi antarsaudara, 18 atau malah menjadikan rumah Tuhan sebagai tempat perdagangan. 19 Hidup manusia tidak semata-mata diukur berdasarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Manusia adalah ciptaan dengan banyak kebutuhan lain yang lebih luas daripada kebutuhan ekonomi. Manusia dipanggil untuk “menjadi kaya di hadapan Allah”. 20

25. Allah datang ke dunia untuk menunjukkan keberpihakan-Nya kepada orang-orang miskin dan lemah. Ia menguatkan kembali kepercayaan diri mereka agar berjuang menata kehidupannya. “Janganlah takut, hai kawanan yang kecil, sebab Bapa-Mu telah berkenan memberikan kamu kerajaan itu”. 21 Di bawah tuntunan Roh Allah, Gereja perdana membentuk suatu komunitas iman. Iman kepada Allah menggerakkan mereka untuk saling percaya. Mereka belajar hidup dari kekuatan mereka sendiri. Pola hidup dari kekuatan sendiri dan model hidup yang saling menyejahterakan ini ternyata menarik dan menggerakkan banyak orang lain untuk menggabungkan diri. “Tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan”. 22


V. LANGKAH KE DEPAN
Gereja Membarui Komitmen

26. Gereja dipanggil mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai oleh berbagai praktik ketidakadilan, khususnya dalam bidang ekonomi. Harapan ini bukanlah harapan kosong, tetapi didasarkan pada janji Allah bahwa “Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai akhirnya pada hari Kristus Yesus”. 23 27. Menyadari kembali apa yang menjadi tujuan penciptaan dan maksud inkarnasi (penjelmaan), di dalam bimbingan Roh Kudus Gereja Katolik Indonesia membarui komitmennya untuk mendorong kerjasama antara badan publik, kekuatan pasar dan komunitas-komunitas warga guna menciptakan tata-kelola ekonomi yang berkeadilan dan yang menjadikan kesejahteraan bersama sebagai tujuan utama. Sikap yang perlu ditumbuhkan adalah pertobatan, metanoia, termasuk di dalam tubuh Gereja sendiri. Gereja menghayati pertobatannya dengan cara: Pertama, membarui tekad untuk bersama saudara-saudara yang miskin dan lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan dan potensi yang ada, betapa pun kecilnya, tanpa menggantungkan diri pada inisiatif kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar. Sebagai orang beriman kita memiliki keyakinan dan harapan bahwa apa yang kecil dapat tumbuh dan mekar menjadi daya kekuatan yang besar bagi kesejahteraan bersama. Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan kekuatan ekonomi besar agar lebih jujur dan seksama dalam mencari jalan untuk membantu kondisi hidup kaum miskin dan lemah. Keterlibatan mereka hanya bermanfaat apabila mendorong kemandirian kaum miskin sendiri, dan bukan menciptakan ketergantungan yang semakin besar. Dengan keterlibatan yang lebih jujur, mereka secara langsung dan sengaja dapat membantu menciptakan kesejahteraan bersama. Melalui keterlibatan itu semua potensi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kehidupan bersama. 24 Asas kesejahteraan umum harus menjadi penuntun, agar manusia tidak menjadikan keuntungan ekonomi sebagai suatu bentuk penyembahan berhala, 25 yang membelenggu dirinya sendiri, merugikan orang lain serta merusakkan alam ciptaan. 26 Ketiga, mendorong serta mendesak para pembuat dan pelaksana kebijakan publik untuk berubah dari kecenderungan memperdagangkan jabatan dan mandat rakyat bagi keuntungan sendiri menuju keberanian membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang sungguh-sungguh berpihak kepada kaum miskin dan kesejahteraan bersama. Dalam keyakinan Gereja, kesejahteraan merupakan hak setiap orang. Pemerintah serta badan-badan publik lain berkewajiban menjaga dan memastikan pemenuhan hak tersebut, sebab “keadilan adalah tujuan, dan karena itu juga merupakan tolok ukur segala kinerja politik”.

27 Keempat, mendorong para cerdik-pandai untuk aktif terlibat dalam mengkaji kembali dan mengubah gagasan serta cara-cara berpikir, terutama di bidang ekonomi, yang merugikan kaum miskin dan lemah. Kajian kritis itu diharapkan menjadi jalan bagi penemuan gagasan, cara berpikir serta cara bertindak baru yang menempatkan kesejahteraan bersama sebagai cita-cita utama.


Prinsip-Prinsip Perekonomian yang Adil
28. Setelah menyatakan pertobatan dan membarui komitmen, kami menyampaikan beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan bersama dalam menentukan langkah ke depan menuju perekonomian yang adil. Perekonomian yang berkeadilan terarah pada peningkatan kesejahteraan bersama dan pelestarian seluruh alam ciptaan. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kesetaraan martabat setiap manusia. Manusia tidak boleh dikorbankan dalam pengejaran kepentingan ekonomi. Sebaliknya, manusia harus selalu “menjadi subjek, dasar dan tujuan“ dari setiap kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi. 28 Dengan demikian kegiatan ekonomi dapat mendorong dan memberdayakan setiap orang, terutama yang miskin dan lemah, untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Kedua, kesejahteraan bersama. Selain mempunyai hak, setiap orang juga mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, mengingat ia hanya dapat hidup dalam tata kebersamaan. Tolok-ukur tak terbantah dari kesejahteraan bersama suatu masyarakat adalah mutu kehidupan warganya yang paling lemah. Apabila sebagian besar warganya yang paling lemah masih hidup dalam kemiskinan, masyarakat itu tidak sejahtera. Ketiga, solidaritas. Solidaritas adalah kesetiakawanan untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan merancang jalan keluarnya, melaksanakan dan mengevaluasi menurut tolok-ukur kesejahteraan bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri menjadi daya gerak sosial, ekonomi dan politik. Keempat, subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan, apa yang dapat dilakukan oleh unit-unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit-unit yang lebih besar. Dengan memperhatikan prinsip ini, kekuatan-kekuatan ekonomi yang besar tidak mencaplok atau menyingkirkan usaha-usaha ekonomi mikro dan kecil yang dilakukan oleh kaum miskin dan lemah. Prinsip ini juga mendorong unit-unit ekonomi yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan ekonomi yang mandiri.


29. Kesejahteraan bersama menuntut keadilan. Itu hanya dapat terjadi apabila tata-kelola ekonomi menghasilkan kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh kebanyakan warga biasa dalam kepatutannya sebagai manusia. Tata-kelola ekonomi yang baik terungkap dalam kebijakan ekonomi yang baik. Dan tolok-ukur kebijakan ekonomi yang baik bukan terutama terletak dalam kemampuannya mendatangkan investasi berskala besar namun tidak punya kaitan dengan kesejahteraan warga biasa, melainkan dalam kemampuannya memberdayakan mereka yang miskin dan lemah, serta membebaskan mereka dari kemiskinan dan proses pemiskinan.

Prioritas dan Beberapa Langkah Strategis
30. Prioritas gerakan kita adalah pemberdayaan potensi dan energi ekonomi rakyat. Segala upaya dalam rupa kebijakan publik serta kerjasama dengan kekuatan ekonomi berskala besar hanya punya arti apabila diarahkan untuk proses pemberdayaan itu. Sekali lagi, proses itu tidak boleh mengakibatkan ketergantungan kaum miskin dan lemah pada kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar maupun pemerintah, tetapi membebaskan mereka dari ketergantungan. Prioritas ini mendesak, dan untuk itu beberapa langkah berikut perlu ditempuh. Pertama, gerakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat yang miskin, bukan dengan program dan proses yang membuat mereka semakin tergantung, tetapi melalui upaya-upaya yang membuat potensi dan energi ekonomi mereka muncul serta bergerak. Semua pihak perlu melakukan evaluasi sejauh mana sumbangannya terhadap proses ini sungguh-sungguh membuat kaum miskin semakin berdaya dalam kehidupan ekonomi. Kedua, gerakan untuk memberdayakan kelompok-kelompok khusus di antara kaum miskin, yang secara ekonomi aktif dan yang mempunyai potensi serta energi untuk berkembang. Terutama sangat penting gerakan pemberdayaan melalui pendidikan kewirausahaan dan pembentukan modal tanpa menggantungkan diri pada kekuatankekuatan ekonomi berskala besar maupun pemerintah. Ketiga, gerakan pendidikan dan pengadaan modal secara mandiri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan sikap saling percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas, inovasi, kualitas kerja, ketepatan waktu, pola hidup hemat dan sebagainya. Kita dapat bercermin pada kisah-kisah mereka – baik dari dalam maupun luar negeri – yang memperjuangkan pemberdayaan kaum miskin. Keempat, gerakan untuk mendesakkan pengadaan prasarana sosial ekonomi yang lebih seimbang di Indonesia, dengan memberi perhatian khusus pada pengembangan berbagai prasarana yang mendorong perkembangan ekonomi rakyat di daerah-daerah tertinggal. Kelima, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik dalam bidang ekonomi, agar semakin memberi perhatian khusus pada usaha memberdayakan potensi dan energi ekonomi kaum miskin serta lemah. Keenam, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik, dengan perhatian khusus pada pelaksanaan tata-kelola yang baik dan pencegahan korupsi, kolusi serta jual-beli kebijakan publik. Ketujuh, gerakan bersama mereka yang berkehendak baik dan semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha, untuk membentuk jaringan usaha-usaha kecil dan mikro yang melatih serta menghadirkan lapangan kerja bagi mereka yang tidak trampil dalam masyarakat. Kedelapan, gerakan untuk melestarikan lingkungan sebagai upaya ekologis yang tidak boleh diabaikan dalam usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi. Kesembilan, semua gerakan itu dapat menjadi gerakan yang andal dan berkelanjutan apabila didukung oleh gerakan para cerdik-pandai yang terus-menerus melakukan kajian kritis atas berbagai cara berpikir dan praktik berekonomi yang berlangsung dewasa ini. Tujuannya untuk menemukan gagasan, cara berpikir dan praktik ekonomi baru yang lebih berorientasi pada kaum miskin dan lemah serta cita-cita kesejahteraan bersama.


Memajukan yang sudah ada
31. Untuk melaksanakan semua itu, kita tidak harus memulai dari kekosongan. Sudah ada banyak pemikiran dan kebiasaan baik di dalam masyarakat kita yang dapat kita kembangkan untuk memperkuat gerakan sosio-ekonomi tersebut. Usaha ekonomi bersama hanya dapat dibangun di atas dasar saling percaya. Demikian pula kita patut menghargai dan mendukung sejumlah inisiatif yang diambil pemerintah dan kekuatan ekonomi berskala besar serta menengah untuk mendukung usaha-usaha ekonomi rakyat. Untuk memastikan bahwa bantuan pemerintah dan kekuatan-kekuatan ekonomi berskala besar serta menengah itu sungguh memberdayakan kaum miskin dan lemah, dan tidak justru melahirkan pola ketergantungan, diperlukan pengawalan dan pemantauan yang kritis dari masyarakat luas.


32. Di dalam Gereja Katolik Indonesia pun sudah ada sejumlah inisiatif yang patut dijadikan dasar untuk membangun lebih lanjut perekonomian rakyat, misalnya Komunitas Basis Gerejawi, Aksi Puasa Pembangunan (APP) dan Koperasi-koperasi Umat, seperti Koperasi Kredit dan Credit Union (CU).
Komunitas Basis Gerejawi sebagai cara menggereja secara baru perlu dikembangkan menjadi wadah saling menguatkan dalam iman yang membuahkan usaha-usaha nyata untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
APP diharapkan semakin menjadi sarana pembelajaran bersama mengenai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan menggereja dan memasyarakat, termasuk keadilan di bidang sosio-ekonomi. Selanjutnya dana APP nasional dan keuskupan diarahkan secara lebih efektif bagi upaya-upaya sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Koperasi-koperasi Umat hendaknya dikelola sebagai bentuk usaha bersama yang memperhatikan secara khusus kelompok warga miskin yang berpotensi dan mampu secara aktif melakukan usaha ekonomi tetapi tidak memiliki modal.
Kita hanya dapat membangun bersama di atas dasar kekuatan sendiri, apabila kita bersedia belajar, berdiskusi, bergerak dan bekerja bersama.


VI. PENUTUP
33. Demikianlah beberapa pemikiran yang telah berkembang selama hari-hari refleksi Sidang KWI 2006. Kami menyampaikannya sebagai bahan pembelajaran bersama tentang masalah keadilan bagi semua di bidang sosio-ekonomi. Kiranya pembelajaran bersama ini dapat mengantar ketiga poros kehidupan masyarakat, yakni badan-badan publik, kekuatan pasar dan komunitas warga, untuk mengambil langkah-langkah yang penting bagi terwujudnya kesejahteraan untuk semua.


CATATAN-CATATAN

1 Prefasi Tanah Air I, TPE, hlm. 104.

2 Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, 1 September 2006.

3 The World Bank & The World Bank Office in Jakarta, Making the New Indonesia Work for the Poor, November 20064 Dari 673 bencana yang terjadi di Indonesia antara tahun 1998 dan 2004, misalnya, lebih dari 65 persen disebabkan oleh kesalahan pengelolaan lingkungan, seperti banjir, longsor dan kebakaran hutan (M. Chalid, ’Bangkrutnya Rezim Kelola SDA’, makalah kerja Down to Earth, Bogor, Jawa Barat, April 2006).

5 Departemen Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2005. 6 UNICEF, 20067 Penulis buku Max Havelaar atau Pelelangan-Pelelangan Kopi dari NederlandscheHandelsmaatschappij (1860) berbela-rasa dengan para buruh itu, dan ia sungguh merasa Multatuli –‘multatuli’ adalah bahasa Latin untuk “saya sudah banyak menderita”.

8 Bandingkan dengan Gaudium et Spes, No. 65.

9 Bandingkan dengan Kej 1:2.

10 Bandingkan dengan Kej 1:1 - 2:4

11 Kej 2:15

12 Yohanes Paulus II, Centesimus Annus, 41.

13 Bandingkan dengan Yes 58:3, Yer 7:6, Am 2:6, Mi 2:2.

14 Bandingkan dengan Ams 10:15; 13:8.

15 Luk 4:19

16 Yoh 1:14

17 Bandingkan dengan Mat 25:14-30.

18 Bandingkan dengan Luk 12:13-21.

19 Bandingkan dengan Mat 21: 12-17.

20 Luk 12:21

21 Luk 12:32

22 Kis 2:47

23 Flp 1:6

24 Bandingkan dengan Centesimus Annus, 40.

25 Bandingkan dengan Flp 3:19.

26 Centesimus Annus, 40.

27 Benediktus XVI, Deus Caritas Est, 28a.

28 Pius XII, Pidato Radio 24 Desember 1944.