Monday 1 January 2007

Media dan Keluarga: Risiko dan Kekayaan

Saudara-Saudari yang terkasih, 1. Perkembangan pesat media komunikasi dan ketersediaannya yang terus meningkat telah membawa peluang luar biasa untuk memperkaya hidup individu maupun keluarga. Pada waktu yang sama, keluarga-keluarga dewasa ini menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari pesan-pesan media yang beraneka-ragam dan bahkan seringkali bertentangan satu sama lain. Tema yang dipilih untuk Hari Komunikasi se-Dunia 2004 -- "Media dan Keluarga: Resiko dan Kekayaan" -- merupakan sesuatu yang tepat waktu, karena pesan ini mengajak refleksi yang teratur tentang manfaat yang diperoleh keluarga dari media dan, sebaliknya, cara media memperlakukan keluarga dan berbagai keprihatinan keluarga.

Tema tahun ini juga merupakan peringatan bagi semua orang, baik orang-orang media maupun orang-orang yang menjadi sasaran media, bahwa semua komunikasi memiliki dimensi moral. Seperti telah dikatakan oleh Tuhan sendiri, kata-kata itu keluar dari luapan hati (Bdk. Mat 12:34-35). Orang-orang bertumbuh atau merosot dalam bidang moral karena kata-kata yang mereka ucapkan dan pesan-pesan yang mereka pilih untuk diperdengarkan. Konsekuensinya, kebijaksanaan dan ketajaman rohani dalam penggunaan media secara khusus dituntut dari pihak para profesional di bidang komunikasi, orangtua, dan pendidik karena keputusan mereka sangat mempengaruhi anak-anak dan orang muda. Mereka harus bertanggung jawab terhadap generasi muda yang merupakan masa depan masyarakat.

2. Berkat ekspansi pasar komunikasi yang belum pernah terjadi dalam puluhan tahun terakhir, banyak keluarga di seluruh dunia, bahkan mereka yang memiliki peralatan biasa, kini bisa mengakses dari rumah mereka sendiri berbagai sumber media yang jumlahnya banyak dan beraneka-ragam. Akibatnya, mereka menikmati peluang hampir tak terbatas untuk informasi, pendidikan, perluasan budaya, dan bahkan pertumbuhan rohani -- peluang yang jauh melebihi apa yang bisa diperoleh kebanyakan keluarga di masa lampau. Namun, media yang sama ini juga mempunyai kemampuan untuk melakukan kejahatan berat terhadap keluarga-keluarga karena menyajikan pandangan yang kacau balau tentang kehidupan, keluarga, agama, dan kesusilaan. Kekuatan ini, baik menguatkan maupun melindas nilai-nilai tradisional seperti agama, kebudayaan, dan keluarga telah dilihat dengan jelas oleh Konsili Vatikan Kedua. Konsili ini mengajarkan bahwa "agar media dimanfaatkan secara tepat, maka yang penting adalah bahwa siapa pun yang menggunakannya harus tahu norma-norma moral dan menerapkan prinsip-prinsip itu dengan setia" (InterMirifica, 4). Komunikasi dalam bentuk apa pun harus selalu diilhami oleh ukuran etis menyangkut rasa hormat terhadap kebenaran dan martabat pribadi manusia.

3. Pertimbangan-pertimbangan ini berlaku khususnya bagi perlakuan media terhadap keluarga. Di satu pihak, perkawinan dan kehidupan keluarga sering dilukiskan secara sensitif, realistis, tetapi juga simpatik, yang mempertahankan kesucian dari keutamaan-keutamaan seperti cinta, kesetiaan, pengampunan, dan penyerahan diri secara suka rela kepada orang lain. Ini benar juga bagi publikasi media yang mengakui kekecewaan dan kegagalan yang jelas dialami oleh keluarga dan pasangan-pasangan yang menikah -- ketegangan, konflik, kemunduran, aneka pilihan jahat, dan perbuatan yang menyakitkan -- namun pada waktu yang sama berikhtiar memisahkan yang benar dari yang salah, membedakan cinta sejati dari yang palsu, dan menunjukkan pentingnya keluarga sebagai satu unit fundamental yang tak tergantikan dalam masyarakat. Di lain pihak, keluarga dan kehidupan keluarga sering dilukiskan secara kurang memadai oleh media. Perselingkuhan, kegiatan seks di luar perkawinan, dan perjanjian perkawinan tanpa visi spiritual dan moral digambarkan secara tidak kritis, dan sementara dukungan positif terlalu sering diberikan pada perceraian, kontrasepsi, aborsi, dan homoseks. Dengan menonjolkan alasan-alasan yang membahayakan perkawinan dan keluarga, gambaran-gambaran seperti itu merugikan kepentingan umum masyarakat.

4. Refleksi jeli tentang dimensi etika komunikasi harus membuahkan prakarsa-prakarsa praktis yang bertujuan untuk melenyapkan resiko terhadap kesejahteraan keluarga yang ditawarkan media dan memastikan bahwa alat-alat komunikasi yang memiliki kekuatan ini tetap menjadi sumber asli yang memperkaya. Tanggung jawab khusus menyangkut hal ini berada pada orang-orang komunikasi sendiri, pemerintah, dan orangtua. Paus Paulus VI mengatakan bahwa orang-orang komunikasi yang profesional harus "mengetahui dan menghormati kebutuhan keluarga, dan ini kadang-kadang mengandaikan bahwa mereka memiliki keberanian benar, dan selalu memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi" (Pesan Hari Komunikasi se-Dunia 1969). Memang tidak gampang untuk menolak tekanan komersial atau tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan ideologi sekular, tetapi itulah tanggung jawab yang harus dilakukan oleh oleh orang-orang media. Taruhannya tinggi, karena setiap serangan terhadap nilai fundamental keluarga merupakan serangan terhadap kebaikan sejati manusia. Pemerintah sendiri mempunyai tugas serius untuk menjunjung tinggi perkawinan dan keluarga demi masyarakat itu sendiri. Namun sebaliknya, kini banyak yang menerima dan bertindak sesuai alasan-alasan berbagai kelompok bebas yang kurang waras yang mendukung praktek-praktek yang menimbulkan krisis keluarga yang sangat serius dan memperlemah konsep dasar keluarga. Kendati tidak terpusat pada sensor, yang harus dilakukan adalah bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dan prosedur yang teratur untuk memastikan bahwa tidakan media tidak bertentangan dengan apa yang baik bagi keluarga. Wakil-wakil keluarga harus terlibat dalam penyusunan kebijakan ini. Para pembuat kebijakan media dan sektor masyarakat harus juga mengusahakan penyebaran sumber media yang seimbang di tingkat nasional dan internasional, dengan tetap menghormati integritas kebudayaan-kebudayaan tradisional. Media hendaknya tidak memiliki agenda yang memusuhi nilai-nilai keluarga yang sehat dari kebudayaan-kebudayaan tradisional atau tujuan yang menggantikan nilai-nilai itu, sekalipun media merupakan bagian dari proses globalisasi yang memiliki nilai-nilai sekular dari masyarakat konsumen.

5. Orangtua, sebagai pendidik utama dan sangat penting bagi anak-anak mereka, adalah orang pertama yang harus diajarkan tentang media. Orangtua dipanggil untuk mendidik keturunannya dalam "menggunakan media secara moderat, kritis, bijaksana, dan waspada" dalam keluarga (Familiaris Consortio, 76). Jika orangtua melakukan hal itu secara konsisten dan baik, kehidupan keluarga sangat diperkaya. Bahkan anak-anak sejak dini dapat diajarkan pelajaran penting tentang media: media itu dihasilkan oleh orang-orang yang bersemangat untuk mengkomunikasikan pesan; pesan itu bertujuan untuk mendorong orang melakukan sesuatu -- untuk membeli suatu produk, untuk terlibat dalam perilaku buruk -- yang merusak minat anak-anak atau tidak sesuai dengan kebenaran moral; anak-anak hendaknya tidak menerima atau meniru semua yang ditemukan dalam media tanpa sikap kritis. Orangtua juga perlu memberi aturan penggunaan media dalam keluarga. Ini meliputi rencana dan jadwal penggunaan media, yang dengan tegas membatasi waktu bagi anak-anak untuk mengikuti acara media, membuat hiburan sebagai pengalaman keluarga, mematikan sejumlah media dalam waktu tertentu dan secara berkala tidak menggunakan media demi kegiatan-kegiatan keluarga. Namun yang lebih penting, orangtua hendaknya memberi contoh yang baik kepada anak-anak bagaimana orangtua menggunakan media secara selektif dan bijaksana. Sering juga menolong bagi orangtua jika mereka bergabung dengan keluarga-keluarga lain untuk belajar dan membahas persoalan dan peluang yang ditawarkan media. Keluarga-keluarga harus berbicara terang-terangan kepada produsen, pemasang iklan, dan pemerintah tentang apa yang mereka inginkan dan tidak inginkan.

6. Media komunikasi sosial memiliki potensi positif yang sangat besar untuk mempromosikan nilai-nilai keluarga dan manusia yang sehat dan dengan demikian turut mendukung pembaruan masyarakat. Mengingat media memiliki kekuatan untuk membentuk pandangan dan mempengaruhi perilaku, orang-orang komunikasi yang profesional hendaknya mengakui bahwa mereka mempunyai tanggung jawab moral bukan saja untuk memberi bantuan, kekuatan, dan dukungan terhadap keluarga, tetapi juga mempraktekkan kebijaksanaan, kewajaran, dan pertimbangan yang baik dan adil dalam presentasi mereka menyangkut masalah-masalah yang melibatkan seksualitas, perkawinan, dan kehidupan keluarga. Media disambut baik setiap hari sebagai tamu umum yang dikenal dalam rumah tangga dan keluarga. Dalam Hari Komunikasi se-Dunia ini, saya mendorong orang-orang media yang profesional dan keluarga-keluarga untuk mengakui privelese yang unik ini dan tanggung jawab yang terkandung di dalamnya. Semoga semua yang terlibat di bidang komunikasi mengakui bahwa mereka sungguh-sungguh "pramugara dan pengurus dari suatu kekuatan spiritual luar biasa yang ada dalam warisan umat manusia dan yang bertujuan untuk memperkaya masyarakat manusia seluruhnya" (Pesan kepada Spesialis Komunikasi, Los Angeles, 15 September 1987, 8). Dan semoga keluarga-keluarga selalu bisa menemukan di dalam media sebuah sumber dukungan, dorongan, dan inspirasi ketika mereka berusaha keras untuk hidup sebagai komunitas kehidupan dan cinta, untuk melatih kaum muda dalam nilai-nilai moral yang sehat, dan untuk memajukan suatu budaya kesetiakawanan, kebebasan, dan perdamaian.

Dari Vatikan, 24 Januari 2004,
Pesta Santo Fransiskus dari Sales
PAUS YOHANES PAULUS II

No comments: